“Sejak awal Pertamina berdiri, warga tidak pernah dilibatkan, baik sosialisasi maupun penandatanganan persetujuan lingkungan atas berdirinya aktivitas eksplorasi minyak dan gas,” kata Sunarta kepada LBH Cakra (Lembaga Bantuan Hukum Cipta Keadilan Rakyat) di Jalan Pepaya Nomor 19, Guro 1, Kelurahan Nagasari, Kecamatan Karawang Barat.
Bersama rekan-rekannya, perwakilan warga dari 200 keluarga Dusun Krajan Bakan Huma, RT/RW 05/01, Desa Sekarwangi, Kecamatan Rawamerta ini mengadukan masalah setahun terakhir yang dialami pascaaktivitas eksplorasi berjalan.
Mulai dari suhu panas yang meningkat diduga akibat dari obor Pertamina dalam radius 200 meter dengan pemukiman warga, asap yang berpotensi buruk pada kesehatan, kebocoran minyak di lahan pertanian, kekurangan air, hingga hasil panen yang menurun, permasalahan yang timbul tidak pernah terselesaikan hingga saat ini. Baik pihak pertamina maupun kepala desa, atau pemerintahan desa itu sendiri.
Dalam video yang beredar, terlihat jelas di balik undakan tanah, titik api dari gas bumi berkobar tepat berada di tengah-tengah persawahan milik warga. Kepulan asap hitam ini terus mengudara di langit Dusun Krajan Bakan Huma tanpa henti.
Dituturkan Direktur Utama LBH Cakra, Hilman Tamimi, bahwa aktivitas Pertamina, pulai dari pra sampai dengan pasca diambil alih langsung oleh desa. “Mungkin Pertamina mengira pemerintah desa memberikan informasi kepada masyarakat, ternyata faktanya tidak demikian.”
Masih ia jelaskan, “Biasanya kalau izin lingkungan itu kan harusnya ada tanda tangan warga. Sementara ini semuanya langsung diambil alih kepala desa. Ini masyarakat tidak dilibatkan.” Dalam penuturannya, bahkan jika dusun tersebut mengalami pemadaman listrik, wilayah di sekitarnya masih terang benderang karena api dari Pertamina.
Menurutnya persoalan krusial ini memerlukan tindakan khusus baik dari pemerintah desa, pemerintah daerah, maupun Pertamina. “Dampak besarnya kan ini jangka panjang baru terasa, sementara ini yang sudah muncul itu tadi, dugaan pencemaran tanah dan air di pertanian. Belum kondisi udara di sana.”
Belakangan ini juga masyarakat mengalami kekeringan air, sebab jalur aliran air untuk sawah tertutup akses jalan milik Pertamina. Karenanya dalam beberapa waktu masyarakat melakukan pemompaan air menggunakan mesin, dan tentu saja itu memerlukan biaya tambahan. Meski akhirnya pihak dari Pertamina membangun jalur air baru untuk persawahan, seperti yang disebutkan Hilman sendiri, “Pertamina bikin jalan air, tapi buangannya engga ada, kan akhirnya banjir.” Lima hektare lahan persawahan warga yang terdampak ini juga kadang malah ada genangan air dan mirip-mirip banjir ketika hujan datang.
Di lain sisi, muncul juga persoalan lain. Hilman sedikit geleng-geleng, “Ada tanah warga yang diduga dimakan Pertamina karena pembangunan akses jalan. Awal pembebasan itu sepuluh meter, tapi pas dibangun malah dua puluh meter. Warga ada yang tanahnya terampas lima meter, empat meter, beragam. Masalah ini juga belum diselesaikan.”
Sementara menurutnya Pertamina bukanlah perusahaan yang baru seumur jagung, “Mestinya Pertamina ada tindakan khusus, kan bukan perusahaan setahun dua tahun.” Ia meneruskan, “Padahal warga di sana lebih dulu tinggal di Dusun Krajan Bakan Huma, pertanian dulunya tidak pernah ada gangguan, hak hidup masyarakat kini sudah terganggu.”
Kini ia dan lembaga bantuan hukumnya akan terus melakukan konsolidasi dengan masyarakat terkait persoalan yang terjadi. Ia juga akan mengadukan permasalahan ini ke anggota dewan dan pemerintah daerah, serta Bupati Cellica Nurrachadiana.
“Rencananya akan aksi massa, pasti melakukan demo. Tuntutannya adalah menghentikan aktivitas eksplorasi Pertamina di Desa Sekarwangi. Padamkan obor sampai ada penyelesaian masalah dengan warga,” kata Halim.
Ia menutup pembicaran kami setelah menceritakan bahwa warga terdampak pernah mengadu dan berupaya kepada Pertamina maupun pemerintah daerah, sayangnya sampai saat ini belum jelas. “Warga sudah berkali-kali mengadu dan menuntut, tapi masih mental terus.”
Komentar