Cellica Nurrachadiana dinilai tidak efektif dalam memimpin Kabupaten Karawang selama belasan tahun. Dari mulai menjabat sebagai Plt bupati sampai bupati dua periode, Karawang Budgeting Control (KBC) menilai Cellica gagal mengeksekusi program-program monumental dan fenomenal.
Direktur Utama KBC Ricky Mulyana menuturkan, salah satu sandungan Cellica adalah ia gagal menempatkan PNS sesuai porsi dan kemampuan.
“Ia tidak bisa menempatkan orang-orang yang profesional dan berpengalaman di bidangnya. Ambil contoh penunjukan Plt Dirut RSUD Karawang. Ia menempatkan saudaranya sendiri yang baru saja diangkat sebagai PNS. Kami curiga, apakah Cellica sedang membangun dinasti dengan menempatkan Fitra sebagai Dirut RSUD? Selain itu juga banyak posisi kepala dinas yang kosong atau di-PLT-kan. Sebut saja Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Dinas Kelautan dan Perikanan, dan Bapenda. Belum lagi kepala bidang di beberapa dinas,” kata Ricky, Kamis (3/2).
Padahal, sambung Ricky, seorang Plt (pelaksana tugas) tidak memiliki kewenangan seleluasa pejabat definitif. Dampaknya, program-program politik Cellica gagal dieksekusi dengan baik di level dinas.
Selanjutnya, Ricky juga mengkritik bagaimana pembangunan inftrastruktur tidak pernah beres di era Cellica.
“Banyak proyek gagal. Semisal jalan Interchange Karawang Barat yang menelan anggaran kurang lebih Rp 300 miliar, tetapi kualitas proyeknya bisa kita lihat belum apa-apa sudah pecah dan retak,” katanya.
KBC curiga muara dari kegagalan infrastruktur ini adalah politik anggaran Cellica yang tidak berpihak pada rakyat. Ada semacam balas budi dari Cellica untuk oligarki yang mendukung di belakangnya sehingga APBD Karawang yang menyentuh angka Rp 4 triliun lebih tidak memiliki skala prioritas pembangunan. Kritik dari tokoh dan organisasi masyarakat pun dianggap angin lalu. Sementara bila sudah viral, pemerintah bagaikan kupis tiping, kelabakan menyelesaikan masalah.

Masih soal infrastruktur, KBC juga menyoroti soal janji politik Cellica yang akan menjadikan Karawang Selatan sebagai destinasi wisata.
“Sekarang apa yang sudah diperbuat dalam hal destinasi wisata? Infrastrukturnya pun yang sekarang berjalan berasal dari anggaran aspirasi anggota DPRD Karawang. Misalkan, infrastruktur yang mengarah ke wisata Puncak Sempur, itu kebanyakan dari dana aspirasi sedangkan objek wisatanya sendiri tidak jelas mana yang dikembangkan oleh pemda,terus wujud destinasi wisatanya mana?”
Tidak hanya di Karawang Selatan, Cellica pun gagal menempatkan prioritas di destinasi wisata pantai. “Mana saja sekarang pantai yang dibenahi pemerintah daerah? Semua dibenahi dan dikelola oleh pihak BumDes bahkan pihak ketiga. Seperti contoh Pantai Pakis yang dikelola oleh swasta,” sambung Ricky.
Masih soal infrastruktur dan prioritas pembangunan, Cellica gagal menunaikan janji memberantas pengangguran melalui BLK (Balai Latihan Kerja). Padahal salah satu janji yang tertuang dalam RPJMD sebelumnya akan membangun BLK tiap Kecamatan tetapi pada perakteknya KBC menemukan cuma ada satu BLK di daerah Kecamatan Pangkalan itu pun mangkrak Padahal gedung sudah dibangun tapi tidak dioperasikan.
Infrastruktur di sektor pendidikan pun sama menyedihkannya. “Banyak kelas ambruk, saking banyaknya sampai jadi hal yang klasik,” sambungnya lagi.
Selama belasan tahun memimpin, Cellica juga gagal memberikan solusi atas banjir tahunan di Karangligar.
“Apa produk kebijakan yang dikeluarkan Pemkab Karawang di Karangligar? Karangligar selama belasan tahun tetap saja banjir bahkan volume air meningkat setiap tahun. Oke ada kajian, namun apakah kajian menyangkut penurunan tanah di Karangligar itu bisa dipertanggungjawabkan? Lantas apa langkah pemerintah untuk mengantisipasinya?”
Muara dari politik anggaran yang tidak berpihak pada rakyat dan konsep pembangunan yang tidak memiliki skala prioritas adalah pengangguran dan kemiskinan ekstrem.
Soal pengangguran, BPS (Badan Pusat Statistika) Karawang mencatat per tahun 2020 terdapat 133.898 pengangguran di Kabupaten Karawang. Sekitar 33,15 persen angkatan kerja seluruh Karawang belum atau tidak memiliki pekerjaan.
Sementara itu soal kemiskinan ekstrem, di Karawang, per tahun 2020, 8,26 persen atau 195,41 ribu penduduk Karawang berada di bawah garis kemiskinan. Bila dibandingkan tahun 2019, angka tersebut naik 21,75 ribu jiwa. Jumlah ini menempatkan Kabupaten Karawang di urutan tujuh dari 27 kabupaten/kota di Jawa Barat yang “juara” di angka kemiskinan. Posisi pertama diraih oleh Kabupaten Bogor dengan 465,67 ribu jiwa, dan urutan terakhir ditempati Kota Banjar dengan jumlah 11,16 ribu jiwa.
BPS menetapkan garis kemiskinan di Karawang sebesar Rp 466.152 pendapatan per kapita per bulan. Rumah tangga dengan penghasilan di bawah itu dianggap miskin.
Pendapatan Rp 466.152 per bulan setara dengan Rp 15.538 per hari. Sementara garis kemiskinan ekstrem berada di angka pendapatan Rp 11.941 per hari.
Disamping itu rendahnya sekor Monitoring Canter for Pervention (MPC) yang penilaianya dilakukan langsung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan KPK sendiri menegur terkait manajement aset pemda yang belum tersertifikasi sebanyak 1.255 bidang atau 71 persen aset pemda tidak memiliki sertipikat dan KPK menyarankan agar Pemda melakukan inovasi percepatan setifikasi mengingat arahan presiden tahun 2024 seluruh aset pemda harus memiliki legalitas ,jadi semua sudah melengkapi bahwasanya belasan tahun memimpin seperti tidak punya pengalaman dalam mengelola daerah alias amatiran.
KBC menyimpulkan, banyaknya penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, dan banyaknya pengangguran mestinya jadi lampu merah bagi Cellica untuk bekerja lebih efektif.
“Cellica harus punya “legacy” atau peninggalan yang dikenang masyarakat Karawang. Sesuatu yang monumental. Ini penting bila Cellica ingin melanjutkan karir politik ke level provinsi atau nasional,” tutup Ricky.
Komentar