Awal menulis ini saya mendengarkan lagu “Kenanglah Aku” milik Naff yang dinyanyikan ulang oleh Tami Aulia di YouTube. Kalau boleh saya sebutkan, moga-moga ungkapan pada lagu itu, maupun apa yang kita semua bayangkan ketika berusaha berdamai dengan patah hati bisa sama. “Mungkin suatu saat nanti kau temukan bahagia meski tak bersamaku, bila nanti kau tak kembali, kenanglah aku sepanjang hidupmu.”
Saya pernah berharap, tidak, barangkali saya betul-betul meminta seseorang yang saya sayangi di suatu masa untuk mengenang saya. Naif memang, tapi, perasaan itu betul-betul sebagaimana yang saya katakan padanya. “Kenang aku ya”, rasanya selalu sulit buat saya, meski sosok berinisial AM (perempuan yang pernah saya sayangi, atau barangkali masih) mengaku menolak kenyataan ibunya telah berpulang, biarlah kenyataan tetap jahat begini. Cukup bagi saya seseorang itu bisa mengenang saya. Meski hanya duduk-duduk di bawah rindang pepohonan. Meski hanya mengenang isi di dalam tas saya, atau meski cuma ingat bagaimana cara saya mengikat tali sepatu.
Saya ini—karena saya dan pimred sama-sama suka puisi—merasa permintaan pimred terdengar sangat aneh ketika meminta saya menulis tempat-tempat terbaik di Karawang untuk melupakan mantan. Di bawah ini akan saya sertakan penggalan bait puisi “Pukul 4 Pagi” dari buku Tidak Ada New York Hari Ini karangan Aan Mansyur untuk film Ada Apa Dengan Cinta? 2.
Kadang-kadang, kau pikir, lebih mudah mencintai semua orang daripada melupakan satu orang.
Jika ada seseorang yang terlanjur menyentuh inti jantungmu, mereka yang datang kemudian hanya akan menemukan kemungkinan-kemungkinan.“
Pukul 4 Pagi”, Tidak Ada New York Hari Ini, Aan Mansyur
Di bait pada puisi “Pukul 4 Pagi” ini Aan Mansyur menunjukkan bagaimana imajinya mencitrakan sebuah perasaan yang saya kira begitu dalam dan dominan dibanding bait lain dalam puisinya. Penyair, melalui aku lirik dalam puisi ini memberikan tekanan makna pada larik berikut, /Kadang-kadang, kau pikir, lebih mudah mencintai /semua orang daripada melupakan satu orang. Jika/. Penekanan makna pada larik-larik ini saya kira menjelaskan kasih sayang kita terhadap orang lain tak akan bisa mengalahkan kenangan di masa lalu. Bahkan jika, /ada seseorang yang terlanjur menyentuh inti jantungmu/.
Atas dasar puisi tadi, saya menolak permintaan atasan saya, sebab sehebat apapun pengalaman saya berusaha, sampai hari ini pun saya masih ingat bagaimana orang yang saya sayangi tersenyum. Masih selalu terasa manis, bedanya saya tak bisa lagi mengatakan, “Setega apapun dunia, asal ada kamu, asal ada kamu”. Barangkali kamu, atau salah satu pembaca tulisan ini pun juga mengalami hal serupa. Karenanya saya berusaha menggeser topik tulisan ini.
Kemudian iseng saja, saya melakukan pencarian di Google, “Bagaimana cara berdamai dengan patah hati?”, mesin pencari paling popular ini mencatat 560.000 hasil dalam 0,45 detik. Kurang dari satu menit hampir ada enam ratus tulisan untuk menjawab pertanyaan tadi. Banyak sekali, entah berapa orang yang sudah menangis malam ini.
Salah satu di antara sekian banyak tips yang saya baca, seseorang menulis agar para penyintas asmara ini berdamai melalui tempat-tempat tertentu. Nah tempat-tempat tertentu ini sangat beragam, bisa diartikan sebagai tempat yang menyimpan banyak kenangan, bisa juga tempat yang memicu respons lain. Akhirnya topik awal tulisan ini beralih menjadi tempat-tempat orang kalah di Karawang berdamai dengan patah hati karena cinta.
Dan karena saya ini minim pengalaman mengunjungi tempat untuk berdamai diri, saya harus bertanya pada para rekan-rekan sendiri. Sebagian besar dari mereka yang mengizinkan kisahnya untuk saya tuliskan adalah teman-teman dekat saya. Nah, berikut adalah catatan singkat mengenai tempat-tempat berdamai.
Tentu akan saya tulis pengalaman saya sendiri, tapi biarlah ini tak masuk hitungan. Lebih dari setahun lalu, hemat kata, saya harus berpisah dengan orang yang saya sayangi karena saya tak lagi diinginkan. Awalnya ada begitu banyak hal yang saya hindari, mulai dari jalan, tempat, parfum, makanan, hingga ke hal-hal kecil seperti bagimana cara saya menulis sebuah tanggal. Kenyataan bahwa saya telah tidak diinginkan, jujur saja perasaan yang tumbuh bertahun-tahun itu bikin saya tak lagi punya alasan hidup.
Satu-satunya hal yang membuat saya merasa yakin dapat berdamai dengan perasaan sakit itu ialah manakala saya bisa tahan memandangi rumah orang yang saya sayangi. Saya sudah tak begitu ingat, tapi, barangkali momen itu sampai sepuluh atau lima belas menit. Saya hanya memandang rumahnya saja, duduk di atas jok motor saya yang parkir kurang lebih lima meter dari pagar rumahnya. Benar-benar hanya melihat rumahnya, padahal saya tahu ia ada di dalam, padahal pada saat itu juga ia ingin melihat saya. Setelah itu saya pulang, merasa bangga pada diri sendiri, tiga puluh menit kemudian saya menepi dan menangis.
Pertama, rekan satu tempat kerja saya, saya inginnya menulis inisial nama penanya saja, TE. Ia menulis catatan hariannya dengan seseorang yang ia sayangi di website yang ia kelola sendiri. Ia menulis tiga puluh tiga kali sapaan kasih sayangnya untuk seseorang yang berusaha ia menangkan hatinya. Bukan hal yang mudah, kalau saya yang menulis, papan tombol ini pasti rusak karena sudah saya banting berkali-kali.
Dalam catatan itu, ia menemani orang tercintanya melewati masa-masa kritis menghadapi virus Covid-19 di salah satu rumah sakit rujukan di Karawang. Dua kali ia ungkapkan bahwa ia ingin melamarnya, tapi seseorang itu selalu menjawab, “Maaf, aku tidak ingin punya hubungan”. Saya tak bisa membayangkan kondisi perasaannya saat-saat menulis catatan harian itu.
Satu hal yang menarik pada catatannya ialah kalimat berikut ini. “Mungkin pembaca menganggap aku seakan pamrih, untuk mengatakan cinta dan melamarnya setelah merawat dia, setelah berkorban untuknya atau bahkan setelah apa yang terjadi di antara kami berdua. Tidak. Aku tidak berpikir seperti itu. Bahkan salah satu hal terbaik dalam hidupku selama ini adalah mampu membuat orang yang aku sayangi bisa bahagia dan tidak lagi menangis”.
Saya merasa takjub manakala ia merasa orang yang ia sayangi cukup saja untuknya melihatnya bahagia dan tak lagi menangis dari jarak yang tak mungkin dekat. Hasil curi dengar saya, rekan kerja saya ini akhirnya berkelana, ke mana pun, sendirian. Saya tak tahu betul untuk apa semua itu dilakukan. Pengelanaan barangkali memang jadi bentuk lain dari pelarian. Belum lama ini ia berdiam diri sendirian selama dua hari di area Pegunungan Sanggabuana.
Kedua, ini adalah pengalaman rekan saya yang lain. Sebut saja AE, tapi saya turut serta ada di dalam momen itu, kira-kira begitu. Hematnya sih waktu rekan saya patah hati ini kami berada di hadapan sebuah danau di suatu kawasan industri. Tak begitu banyak yang kami bicarakan soal rasa sakitnya waktu itu. Tak banyak juga hal-hal lain yang kami bicarakan. Rasa-rasanya saat itu ia memasrahkan saja semuanya seperti air danau yang lajunya bergantung pada angin.
Benar mungkin apa yang dikisahkan oleh orang-orang bijak tentang segenggam garam yang diaduk dengan air dalam gelas, dan juga segenggam garam yang diaduk di telaga. Seolah-olah patah hati itu hanyalah segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Rasa asin garam yang dirasakan ini disebut-sebut bergantung pada keluasaan wadah yang dimiliki hati si peminum air campur garam tadi. Tapi saya kira, baik dalam gelas maupun telaga, tak seorang pun dapat betul-betul menakar kedalaman patah hati yang dirasakan orang lain.
Teman dekat saya ini, berkali-kali ia tersenyum sembari memandang danau. Entah apa yang ia bayangkan saat melakukan itu. Ingin sebetulnya saya bertingkah seperti tokoh pada kisah kesufian tadi. Sayangnya saya tak bawa garam dan gelas kosong. Apa boleh buat, saya gagal jadi keren. Jadi saat itu, waktu berlalu saja begitu. Teman dekat saya berdamai di hadapan danau dengan caranya sendiri. Kadang-kadang saya bicara sedikit, kadang-kadang saya tahu mestinya saya tak berada di sana. Biar ia menghadapi dirinya sendiri.
Ketiga, belum lama ini saya baru tahu kalau rekan saya, IR, patah hati karena orang yang ia sayangi lebih memilih menjalin hubungan serius dengan pasukan angkatan darat ketimbang dirinya. Tak banyak sih yang ingin saya katakan, entah bagaimana ia harus menerima kalau mantan saingannya punya masa depan yang lebih terang benderang.
Dalam waktu dekat ini saya berencana mengajaknya ke Saung Endah, Sarana Ngariung Energi Dzikir Arus Hipnotis di daerah Kecamatan Tempuran. Senang rasanya kalau rekan saya ini sadar rasa sakitnya tak mungkin bisa ditempuh dengan pengobatan medis, karenanya ia merasa ranah non-medis ini penting juga. Ia sih akhirnya mengaku ingin dihipnotis untuk melupakan seseorang yang ia sayangi.
Saya sih merasa memang tak pernah ada yang salah dengan tindakan-tindakan berlatar atas nama cinta. Selama ini toh hal itu memang menyiksanya hingga memutuskan berlatih diri, fisik maupun pikiran. Dua tahun ia sudah berupaya menjadi pasukan angkatan darat, bentuk tubuhnya sudah bagus, pun dengan bagaimana ia dalam bersikap, tegas dan mencintai tanah air. Walaupun ia sebetulnya sedikit merasa tak perlu pengobatan alternatif, seperti yang ia bilang, “Semua cara harus dicoba.”
Keempat, beberapa bulan belakangan ini rekan saya, sebuat saja J, harus berpisah setelah menjalin hubungan jarak jauh hampir tiga tahun antara Karawang dan Jepang. Jauh sekali memang, ingin sekali-kali saya bilang kalau ia sangat bodoh. Tiga tahun itu mantan kekasihnya hanya punya kesempatan pulang satu kali ke Karawang, itu pun hanya dua minggu, sudah termasuk waktu berangkat dan pulang kembali ke Jepang.
Setelah berpisah, ia pernah berusaha mengajak saya menemaninya pergi ke Tugu Kebulatan Tekad di Kecamatan Rengasdengklok. Ia ingin menyusun ulang tekadnya yang hancur seketika manakala mantan kekasihnya mengatakan kalau hubungan itu harus diakhiri karena mimpinya hidup di Jepang mustahil bisa digapai bersama J.
Padahal J ini sudah mengikuti kelas kursus berbahasa Jepang selama hampir setengah tahun belakangan ini. Sisa masa perjuangannya menjalin hubungan pun ia selingi dengan belajar bahasa dan budaya Jepang dari aplikasi belajar di gawai. Tapi apa mau dikata, sekarang ia bekerja sebagai salah satu staf tata usaha di pesantren. Membayangkan ongkos untuk berangkat dan pulang dari Jepang saja lebih dari upahnya selama satu tahun.
Tempat-tempat berikutnya singkat saja, tak banyak kisah juga yang mendukung lokasi itu menjadi sangat bermakna. Misalnya seperti Bendungan Walahar, saya kira kalau kamu tengah patah hati hebat, cobalah sekali waktu berkunjung ke sana. Bangunan Belanda yang kokoh itu setidaknya bisa mengantarmu pada pemaknaan lain. Boleh saja kamu mengira bendungan itu adalah sebagaimana kamu sebenar-benarnya harus menjaga diri. Sendainya kamu terlalu membuka diri, maka boleh jadi Kabupaten Karawang, atau tempat yang juga bisa disimbolkan sebagai dirimu sendiri mengalami banjir hebat.
Teakhir, kalau saja kamu menyukai aktivitas yang baru dan bertemu dengan orang-orang kalah, macam saya. Kami berencana mengunjungi salah satu tim pemburu hantu di Karawang. Entah hantu mana yang ingin kami buru, pokoknya kami ingin memburu hantu saja. Kami sudah bosan menonton Jurnal Risa di YouTube. Kalau kamu berminat, kamu bisa menghubungi nomor telepon redaksi kami atau mengirimkan surat elektronik ke surel redaksi.
Tentu masih banyak tempat-tempat untuk berdamai dengan patah hati, misalnya di kamar sendiri atau duduk di tepi jalan. Paling tidak dua lokasi ini akan memudahkanmu melihat dunia tetap bergerak tanpa memperdulikan kamu tengah sedih atau bahagia.
*
Ian
Komentar