Beasiswa Karawang Cerdas digadang-gadang sebagai solusi jangka panjang pemerintah dalam memerangi kemiskinan. Beasiswa diberikan untuk anak dari keluarga tidak mampu namun berprestasi, dan cerdas. Program Karawang ini disokong Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 Pasal 49 Ayat 1: Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Undang-Undang mengamanatkan pemerintah daerah menggunakan 20 persen dari APBD untuk sektor pendidikan. Termasuk program Beasiswa Karawang Cerdas. Namun, temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) Republik Indonesia terhadap laporan penggunaan anggaran pemerintah Karawang periode 2019, dan periode 2020, membuka borok di tubuh Karawang Cerdas.
Kami menemui Beno, Direktur Bidang Kajian pada KBC (Karawang Budgeting Control). Hasil kajian KBC merujuk pada hasil audit BPK pada tahun 2019 dan 2020, terungkap bahwa tim pelaksana dan tim verifikasi beasiswa Karawang Cerdas tidak bekerja maksimal.
Tahun 2019, BPK menemukan 147 penerima beasiswa yang namanya tercantum dua kali. Tahun 2020, kesalahan itu kembali terulang, terdapat 14 orang yang namanya tercantum dua kali sebagai penerima beasiswa. Kesalahan ini tidak akan terulang bila panitia dan tim verifikasi bekerja maksimal.
“Maka saya sampaikan terkait penerima beasiswa ganda ini, tim panitia pelaksana dan tim verifikasi tidak cermat. Seharusnya begitu kejadian di 2019, yang angkanya begitu besar, di 2020 harusnya lebih selektif dalam input data,” kata Beno.
Kasus penerima beasiswa ganda, kata Beno, bukan permasalahan sederhana. Sebab menyangkut kinerja dan integritas tim verifikasi. “Karena kalau lihat dari data realisasi anggaran beasiswa SMA-SMK dan perguruan tinggi, terjadi peningkatan realisasi. Dari tahun 2019 sebesar Rp 19,4 miliar, di tahun 2020 jadi Rp 29 miliar. Karena itu kami pertanyakan kinerja tim pelaksana dan tim verifikasi. Uang rakyat sebesar ini harus dialokasikan secara efektif, jangan sampai temuan di audit BPK terjadi lagi.”
Bila ditotal, 147 penerima beasiswa yang namanya ganda ini menerima anggaran Rp 205 juta. Ratusan juta rupiah ini direalisasikan dua kali kepada 147 penerima yang sama.
Kesalahan panitia beasiswa Karawang Cerdas bukan itu saja. Dari audit BPK tahun 2020, ditemukan fakta ada mahasiswa yang menggunakan uang beasiswa untuk membeli ponsel dan emas. Padahal, beasiswa Karawang Cerdas diperuntukan untuk pelajar tidak mampu yang berprestasi dan cerdas. “Sementara di sisi lain masih banyak mahasiswa kita yang kondisi ekonominya butuh bantuan dari pemerintah.”
Sejatinya, calon penerima beasiswa mestinya diberi pemahaman mengenai penggunaan uang beasiswa. “Si penerima bantuan ini harus tahu bahwa beasiswa ini merupakan kepedulian pemerintah terhadap warganya yang kurang mampu namun berprestasi. Harusnya ini disosialisasikan. Karena ketidaktahuan peruntukan uang beasiswa, sehingga terjadi kasus penerima beasiswa memakai uang beasiswa untuk beli ponsel dan emas.”
Ke depan, KBC meminta tim pelaksana harus lebih selektif dalam menentukan penerima bantuan. “Jangan sampai tidak tepat sasaran, yang tercoreng kan bupati. Padahal bupati sudah mengeluarkan pedoman petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.”
Pada tahun 2019, hasil audit BPK mencatat 68 penerima beasiswa yang tercantum dalam daftar CPCL (Calon Penerima Calon Lokasi) namun tidak tercantum dalam daftar realisasi. Ada dugaan 68 nama ini diganti dengan nama lain. Tahun 2020, panitia melakukan kesalahan lebih fatal. Ada 10 orang yang bukan pelajar atau sudah tidak lagi sekolah tapi tercantum sebagai penerima bantuan. Di tahun yang sama, ada satu penerima beasiswa yang namanya tidak diusulkan sekolah. Padahal usulan dari sekolah adalah salah satu yang wajib dikantongi calon penerima beasiswa. Kesalahan panitia juga bertumpuk ketika BPK menemukan 13 nama penerima beasiswa yang tidak mengumpulkan berkas.
Tahun 2020, BPK menemukan Rp 571.400.000 uang beasiswa mengendap di bank. 5.714 orang penerima beasiswa tidak bisa mengambil semua uang beasiswa dari rekening masing-masing. Masing-masing penerima harus menyisakan RP 100 ribu di rekeningnya.
“Ini membuktikan ketidaksiapan panitia dalam menentukan mekanisme pengiriman beasiswa ke nomor rekening. Rp 100 ribu kan jumlahnya lumayan besar, biasanya kan limit terendah di rekening itu Rp 50 ribu, bukan Rp 100 ribu. Seharusnya ini dievaluasi oleh tim pelaksana kenapa uang beasiswa tidak bisa diambil semua sampai mengendap,” sambung Beno.
“Kesalahan-kesalahan ini menjadi bahan dorongan buat kami untuk mendalami realisasi program Karawang Cerdas,” ujar Beno.
Seandainya panitia dan tim verifikasi Karawang Cerdas mengikuti pedoman yang tertuang dalam peraturan bupati, kesalahan-kesalahan yang ditemukan BPK tidak akan terjadi. Atau kalaupun terjadi, tidak akan terulang.
KBC mencurigai bisa saja permasalahan di lapangan lebih besar dan angkanya bisa jadi lebih membengkak. Maka dari itu KBC akan melakukan public review atas beasiswa Karawang Cerdas. “Justru dengan hasil audit BPK ini kami jadi terdorong untuk melakukan public review. Ada dua objek yang akan kami kritisi. Pertama adalah akuntabilitas, kedua adalah efektivitas bantuan. Apakah ini sudah tepat sasaran atau belum, karena ini programnya untuk menunjang pendidikan bagi masyarakat yang kesulitan secara ekonomi. Jangan sampai diterima oleh orang yang ekonominya mapan,” katanya.
Transparan dan Intervensi
Terpisah, praktisi hukum dan akademisi Satria Khairul Umam, SH.,MKn menuturkan, Pemkab Karawang diharapkan tidak mengulangi kesalahan yang sama saat menggarap program Karawang Cerdas tahun 2021.
Pemkab Karawang harus mengikuti petunjuk dalam Peraturan Bupati nomor 66 tahun 2018 tentang program Karawang Cerdas, dan Permendagri nomor 77 tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.
Tanggal 1 September nanti, tahapan penerimaan beasiswa Karawang Cerdas tahun 2021 dimulai. Pemerintah mestinya belajar dari kesalahan yang telah dibuat di dua tahun sebelumnya. Program beasiswa yang sudah berjalan sejak 2018 mestinya jadi pelajaran pemerintah agar tidak gagal lagi tahun ini. Apalagi tahun ini pemerintah menambah kuota penerima beasiswa Karawang Cerdas. Selain pelajar SMA dan mahasiswa, pemerintah menambah kuota untuk anak-anak yang orangtuanya meninggal karena COVID-19.
“Saya apresiasi langkah pemerintah menambah kuota untuk anak yang orangtuanya meninggal karena COVID-19. Namun, penambahan kuota ini bisa jadi senjata makan tuan kalau panitia dan tim verifikasi tidak bekerja on the track sesuai pedoman. Sebab, tanpa menambah kuota pun, pelaksanaan program sudah semrawut. Selama dua tahun ini, banyak kesalahan yang dilakukan panitia. Apalagi bila kuota ditambah,” katanya.
Apalagi sektor pendidikan adalah salah satu janji kampanye Bupati Cellica Nurrachadiana dan Wakil Bupati Aep Syaepuloh saat kampanye tahun lalu. Dalam salah satu poin misi yang diusung pasangan yang dijuluki Cekas ini, keduanya berjanji untuk mewujudkan penyelenggaraan dan mutu pendidikan.
“Bupati dan Wakil Bupati Karawang harus bisa mengintervensi pelaksanaan program Karawang Cerdas ke arah yang lebih baik. Ini belum terlambat karena tahapan belum dimulai. Copot mereka yang tidak kompeten, ganti oleh mereka yang berkomitmen ikut membantu mewujudkan janji kampanye Cellica-Aep,” katanya.
Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Karawang sebagai ujung tombak Karawang Cerdas diminta untuk transparan. Satria menuturkan, hasil audit BPK selama dua tahun berturut-turut melunturkan kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan Karawang Cerdas. Satu-satunya cara memulihkan kepercayaan ini adalah dengan melaksanakan program secara transparan.
“Dinas harus secara berkala melaporkan update program. Mulai dari pendaftaran, verifikasi dan seleksi berkas, verifikasi faktual, sampai penunjukan penerima beasiswa. Publik harus dilibatkan dalam laporan ini. Buka laporan di website agar bisa diakses publik setiap saat,” katanya.
Kata Disdikpora: Sudah Selesai
Sementara itu terpisah, Kepala Disdikpora Karawang Asep Junaedi memberikan klarifikasi soal temuan BPK RI. Soal saldo setengah miliar rupiah milik penerima beasiswa yang mengendap di bank, Asep mengatakan hal tersebut bukan kewenangan Disdikpora.
“Kalau saldo itu urusannya di bank. Uangnya juga ada di rekening masing-masing. Jadi sudah selesai,” kata Asep.
Soal penerima ganda, Asep menjawab ragu-ragu. “Penerima ganda itu kan kalau tidak salah sudah di-cancel. Tidak ada yang ganda.”
Dinas juga mengaku sudah menjelaskan kepada penerima beasiswa soal penggunaan uang. Uang tersebut, kata dinas, harus digunakan untuk biaya pendidikan dan biaya penunjang pendidikan.
“Yang jelas, tugas kami itu adalah memastikan uang sudah ditransfer dan diterima oleh penerimanya sesuai nomor rekening masing-masing. Peruntukannya juga sudah jelas,” katanya.
Dinas sudah memastikan proses seleksi berjalan sesuai ketentuan. “Mereka kan daftar secara online, regulasinya kan untuk pelajar tidak mampu dan berprestasi. Setelah memenuhi syarat, kami adakan verifikasi. Untuk tahapan verifikasi, Disdik didampingi OPD lain seperti Dinsos dan Disdukcapil. Hasil verifikasi itu hasil verifikasi bersama.”
Asep berkomitmen, pelaksanaan Karawang Cerdas tahun ini akan berlangsung dengan baik. Tahun 2021, pemerintah membuka kuota 6.500 penerima beasiswa. Rinciannya adalah, 1.200 beasiswa untuk mahasiswa, 4.000 untuk pelajar tingkat SMA sederajat, dan 1.300 beasiswa SD-SMP-SMA yang orangtuanya meninggal karena COVID-19.
Pendapat Aktivis: Kurang Pengawasan Disdikpora
Terpisah, Ketua GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) Karawang Arief Kurniawan menuturkan, temuannya di lapangan terutama di kampus Unsika (Universitas Singaperbangsa Karawang), banyak penerima beasiswa Karawang Cerdas menggunakan anggaran hanya untuk penunjang pendidikan, bukan untuk kuliah.
“Jadi aturannya kan untuk kuliah, sekolah, dan penunjang. Nah justru yang dapat ini banyaknya untuk penunjangnya, yang untuk kuliahnya dinomorduakan. Jadi perlu ada pengawasan dari Disdikpora Karawang terkait penggunaan anggaran Karawang Cerdas ini. Kan untuk pendidikan yang utama sebenarnya, tapi kebanyakan ini kan untuk penunjangnya,” kata Arief.
“Dulu itu kami pertanyakan ke Disdikpora Karawang, anggaran itu pengawasannya sampai mana, jangan sampai kayak pemerintah cuma memberikan uang jajan ke mahasiswa, tanpa controlling,” sambungnya.
Terpisah, Ketua IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) Karawang Soeman redja meminta pemerintah mengusut kasus salah sasaran penerima beasiswa Karawang Cerdas. “Sangat disayangkan, ini kan program mulia. Adanya oknum tidak bertanggungjawab perlu diusut, sampai terangkat. Jangan sampai sudah di media, mencuat isunya, tapi tidak ada pengawasan, mungkin itu sih, sikap saya sendiri terkait isu yang beredar.”
“Satu lagi, Karawang Cerdas kan ada untuk anak yatim dan piatu yang terkena Covid ya, nah itu sekarang tidak bisa diakses. Kalau dilihat dari edaran, hitungan akhir Agustus, nah awalnya emang ada banyak respon, banyak yang daftar, akhir-akhir ini enggak bisa diakses. Engga tahu down, atau enggak bisa cover, enggak tahu,” katanya lagi.
Mantan Presiden Mahasiswa UBP (Universitas Buana Perjuangan) Rangga bahkan buka-bukaan soal beasiswa Karawang Cerdas yang terjadi di eranya. Ia mengatakan, di kampusnya memang ada sosialisasi soal Karawang Cerdas. Dari sosialisasi itu ia tahu ada tiga kriteria penerima beasiswa. Pertama adalah anak PNS. Kedua, mahasiswa berprestasi. Ketiga adalah mahasiswa tidak mampu.
“Tapi secara kuota itu yang dipertanyakan, tepat atau tidak. Temuan saya, justru beasiswa ini tidak dipakai sesuai aturan. Evaluasinya, dibikin kriteria bagi penerima, diseleksi secara transparan, supaya kami gak bingung terkait administrasi. Lalu perbanyak kuota di tengah pandemi untuk mahasiswa tidak mampu atau terdampak COVID-19. Kalau akademis prestasi kan bentuknya reward, tapi (kuota beasiswa harus) lebih banyak buat terdampak COVID-19. Dan yang terakhir perketat terkait alokasi dana beasiswa, jadi langsung untuk biaya pendidikan,” tutupnya.
Komentar