Seorang guru perempuan sebut saja EM, melaporkan ke polisi atas kasus dugaan persekusi dan kekerasan fisik yang dilakukan orangtua murid tempatnya mengajar. Buntut dari persekusi ini, EM harus kehilangan bayi dalam rahimnya. Dokter kandungan menyatakan, EM mengalami keguguran lantaran depresi dan trauma. EM tidak hanya mengalami serangan fisik dari orangtua murid, namun juga serangan mental.
Peristiwa ini bermula dari protes orangtua dari murid sebut saja Fajar. EM mengajar di kelas yang dihuni Fajar. Selain mengajar, EM juga berstatus sebagai wali kelas tersebut. Sejak pandemi, kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring. Kepada Kopipagi.id, EM menuturkan, dalam upaya menormalisasi kegiatan belajar, tugas menjadi cara agar anak didik tetap berada di rumah bersama orangtua.
Namun, protes datang dari orangtua Fajar. Mereka bilang tugas terlalu banyak dan memberatkan. EM menerima protes ini. Ia lalu mengevaluasi caranya mengajar agar bisa diterima oleh murid.
“Saya juga mengevaluasi gaya pembelajaran saya, supaya anak didik bisa senang dalam pembelajaran,” jelas EM ketika diwawancari di kediamannya, Senin, 8 November 2021, sambil menangis.
Belum genap satu bulan semenjak evaluasi dilakukan, pada Selasa, 5 Oktober 2021, EM tersandung masalah. Ia diduga memukul Fajar menggunakan pulpen. Orangtua Fajar (nenek dan ibunya) mendatangi EM ke sekolah. Sebelum datang ke sekolah, ibu kandung Fajar mengancam EM melalui pesan WhatsApp. Sekitar jam 11 siang di hari yang sama, EM ditelepon ibu kandung Fajar. Dalam telepon tersebut, ibu kandung Fajar mengumpat, “Guru brengsek, ngapain maneh (kamu) ngegebuk Fajar pakai pulpen?”. Hal itu sontak membuat EM kaget, selain ia tidak pernah melakukan hal tersebut, ia juga kaget mendengar cacian tersebut.
Karena EM tidak pernah merasa melakukan tersebut, hal pertama yang ia lakukan adalah mengonfirmasi pada anak didiknya yang lain melalui walinya. EM ingin memastikan bahwa dirinya tidak pernah melakukan hal keji tersebut. Melalui telepon ia menghubungi beberapa orang tua murid dengan bertanya, “Maaf ibu, takutnya saya lupa, coba tolong tanya ke anaknya, pernah gak saya mukul Fajar?”
Selain mendapatkan tuduhan itu, EM juga dituding melakukan diskriminasi terhadap Fajar dengan cara mengusulkan agar Fajar pindah ke kelas lain. Tuduhan itu dilontarkan karena EM dirasa telah memblokir kontak Whatsapp Fajar di grup chat kelas.
Sebetulnya, grup chat itu sengaja dibuat agar formatnya hanya bisa admin saja yang berkomunikasi, yang berarti itu adalah EM selaku wali kelas. Format itu dibuat memang karena peruntukannya sebagai medium memberi tugas pada siswa. Sebab, sebelumnya banyak orangtua murid dan murid yang keberatan jika semuanya bisa berkomunikasi di sana, sehingga grup menjadi ramai dan membuat pembahasan tugas tidak fokus.
Namun penjelasan itu tidak bisa diterima oleh orangtua Fajar. Mereka bersikukuh tetap menduga bahwa EM melakukan diskriminasi pada anaknya. Padahal sebelumnya EM sudah menjelaskan. “Kalau ada keperluan kepada wali kelas, disarankan untuk menghubungi langsung melalui jalur privat atau japri,” kata EM berusaha memberi klarifikasi. Namun orangtua Fajar tetap bersikeras dan meminta agar grup tersebut dibuka kembali.
Tidak hanya sampai di situ, semenjak EM membuka room chat tersebut. Ia terus mendapatkan teror dari nenek dan ibu Fajar. Menurut EM, keduanya sering mengirim pesan ataupun telepon dengan nada marah dan berisi cacian.
Tidak lama berselang, guru yang berusia 28 tahun ini mendapatkan masalah baru. sebelumnya ia meminta muridnya untuk menggambar satu objek yang ia kirimkan lewat grup chat tersebut pada Sabtu, 23 Oktober 2021 yang kemudian hasil gambarnya akan dinilai pada Selasa, 26 Oktober 2021. Namun, banyak murid ataupun orangtua murid yang memberikan gambarnya pada Sabtu hari itu juga.
Sebagai bentuk apresiasi pada hasil karya murid, ia memberikan emoticon ke setiap gambar yang diberikan dengan ikon jempol dan tepuk tangan. Ketika ia sedang asik mengirim ikon jempol dan tepuk tangan, EM diberitahu bahwa anak dari teman seprofesinya meninggal, sehingga ia harus bertakziah ke rumah duka. Hal itu membuat aktivitas sebelumnya terganggu, ia kehilangan konsentrasi dan membuat ia tidak acuh dalam memberikan ikon tersebut.
Namun hal itu membuatnya mendapatkan masalah. Ketika Fajar mengirimkan hasil gambarnya, EM hanya memberikan ikon jempol. Hal tersebut membuat ibu dari Fajar merasa wali kelas anaknya ini pilih kasih. Lantas, ibu dan nenek dari Fajar kembali mendatangi sekolah pada Senin, 25 Oktober 2021 untuk bertemu dengan EM.
“Namanya bentuk apresiasi, simbol bukan untuk penilaian saya bingung, kok marah-marah, itu perkara apresiasi,” jelas EM.
Ketika EM hendak ke sekolah, ia melihat ibu dan nenek dari Fajar sudah terlihat di depan ruangan guru. Terlihat seperti sedang menunggunya, pada saat wali kelas 3B itu hendak ke ruangannya, di depan ruangan ia di hadang oleh keduanya, mereka berdiri lantas mengatakan, “Awas EM, tong kamana-mana aing tungguan (jangan kemana-mana, saya tungguin).”
Setelah itu, salah seorang rekan seprofesi EM sempat meminta keduanya untuk pulang. Sebab kepala sekolah yang dicari oleh mereka tidak ada. Namun bujukan itu tidak digubris, mereka berdua tetap bersikeras menunggu hingga sore.
Hal itu membuat EM sesegera mungkin masuk ke ruangannya karena merasa ketakutan. Ia juga sempat menghubungi kepala sekolah untuk meminta solusi dan perlindungan. Namun kepala sekolah itu tidak mengindahkan permintaan EM. Kepala sekolah hanya menjawab, “Bapak lagi di rumah sakit, suruh pulang aja.”
Setelah teman-temannya menenangkan EM, kemudian ia kembali mengerjakan tugasnya sebagai guru. Di hari itu ia diberi tanggung jawab untuk mendampingi siswa kelas 5 yang sedang berlatih Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Sehingga ia harus ke ruangan komputer sembari menunggu tim operator sekolah.
Namun ketika ia keluar dari ruangannya, ia kembali dicegat oleh orangtua Fajar. Salah satu dari mereka mengatakan, “Maneh arek kabur?, arek kamana? (kamu mau kabur?, kabur kemana?)”. Lantas dengan perasaan takut yang masih menyelimuti, EM menjawab, “Engga bu, mau ke ruang komputer”.
Ketika EM sedang di ruang komputer, kemudian dua orang itu memasuki ruangan dalam keadaan marah. Di sana EM dimarahi, dibentak, hingga dicaci di depan anak didiknya yang sedang berlatih untuk persiapan AKM. Pada saat itu ia mencoba untuk merekam perbuatan kedua wali Fajar, namun langkah yang diambilnya itu kemudian ketahuan.
“Ini direkam,” ujar ibu dari Fajar. Nenek yang vokal lantas dengan sigap dan kasar merebut ponsel EM dengan mendorong. Ibu dari Fajar yang juga turut mengambil gawai tersebut, ikut menarik kerudung yang dikenakan oleh EM, sehingga membuat EM sedikit terjungkal dari tempat duduknya.
Hasil perbuatan keduanya menyisakan luka cakar di pergelangan tangan kiri EM. Foto dari luka itu kemudian jadi salah satu barang bukti yang dilampirkan dalam laporan kepolisian.
Tidak cukup sampai di situ, nenek dan ibu dari Fajar juga mengancam akan memanggil wartawan. Saat sesi wawancara, EM menyebut nama wartawan tersebut. Namun para wartawan yang hadir di sesi wawancara tidak mengenal nama itu.
Tidak lama dari situ, orangtua dari suami EM datang. Kedatangan orangtuanya bermaksud untuk melerai pertikaian. Kemudian orangtua EM mengatakan padanya untuk meminta maaf pada ibu dan nenek dari Fajar, namun permintaan maaf itu diacuhkan oleh mereka sambil mengatakan, “Maneh keguguran siah, anak urang dikieukeun wae, ku aing sumpahan anak maneh keguguran, anak maneh cacat (kamu keguguran nanti, anak saya dibeginikan terus, saya doakan anak kamu keguguran, anak kamu cacat),” cerita EM ketika menirukan salah satu dari wali Fajar.
Keguguran
Setelah keributan yang dibuat oleh orangtua dari muridnya ini, EM diantarkan pulang ke rumah oleh keluarganya. Sebelum pulang, di sekolah ia sempat pingsan. Ketika sadar perutnya mengalami keram yang luar biasa. Alasan itu lah yang membuat dirinya dibawa pulang oleh keluarganya.
Ketika ia sampai di rumah dengan jarak tempuh sekitar 10 menit dari tempatnya mengajar, EM kemudian buang air kecil. Ketika buang air kecil, ia mengalami pendarahan, seketika ia memberitahu ke keluarganya dan sesegera mungkin dibawa ke praktik bidan terdekat.
Ketika di rumah bersalin tersebut, ia kemudian ditangani oleh bidan setempat untuk menghentikan pendarahan. Namun setelah beberapa kali ia berkonsultasi, bidan menyarankan untuk dirujuk ke Rumah Sakit Ibu dan Anak yang berada di bilangan kota Karawang. Hasil pemeriksaan oleh dokter menyatakan bahwa EM mengalami keguguran dan harus dioperasi.
Selama EM dirawat di rumah sakit, tidak ada respon dari kepala sekolah terkait permasalahan dengan orangtua murid dari Fajar. Kepala sekolah sempat menghubungi EM untuk memintanya datang ke sekolah agar bisa bertemu dengan orangtua Fajar, ketua komite sekolah, dan pengawas. Namun EM tidak bisa mengahadiri undangan tersebut karena ia sedang menjalani masa pemulihan.
“EM gimana sekarang bisa ke sekolah?” tanya kepala sekolah.
“Saya lagi bedrest pak, ngapain?” jawab EM.
“Ya ini ketemu sama mamah Fajar, ketua komite, dan pengawas,” lanjut kepala sekolah.
“Saya lagi bedrest pak, saya gak bisa ke sana, saya takut,” sambut EM.
Ketika kepala sekolah hendak menutup teleponnya, terdengar suara samar-samar dari kejauhan, “Kamu mah bedegong, ke kepala sekolah aja bedegong,” yang ternyata itu adalah suara dari nenek Fajar.
Omongan itu lantas membuat EM bertanya langsung ke kepala sekolah.
“Bapak punten, saya bedegongnya di sebelah mana?” tanya EM.
“Ya gak perlu ngomong ya, semua juga tahu kalau kamu bedegong,” jawab kepala sekolah.
Hal tersebut membuat keadaan mental EM menjadi semakin terpuruk. Kepala sekolah yang seharusnya melindungi pengajarnya malah tidak berpihak. Justru sebaliknya, kepala sekolah ini malah memihak pada orangtua murid.
Meminta Keadilan
Permasalahan yang menimpa EM selaku guru honorer di sebuah sekolah dasar di Karawang Kulon ini menambah rentetan tren buruk di kancah pendidikan. Guru honorer yang kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, juga harus mendapatkan perilaku yang sama dari atasannya sendiri.
EM sendiri merasakan hal demikian, ia bertanya-tanya tentang kejadian yang menimpanya ini apa karena dirinya merupakan guru honorer. Sehingga ia tidak mendapatkan keselamatan dan kenyamanan dalam bekerja yang sama dengan guru lainnya.
“Saya juga ngajar bukan karena uang, berapa sih gaji honor? Saya cuma ingin mengembangkan pengalaman aja,” jawab EM kesal. Ia sudah mengajar di sekolah tersebut selama lima tahun.
Kini EM harus kehilangan anaknya yang sedang berada di kandungan. Anak kedua yang ia tunggu empat tahun lamanya harus ia relakan begitu saja. Ia juga harus merelakan rasa sakit yang dideritanya dari pendarahan akibat keguguran yang ia alami.
Sekarang EM mencari keadilan, ia sudah mencoba lapor ke pihak kepolisian. Ia ingin menyelesaikan permasalahan ini di ranah hukum. Hal ini ia lakukan agar ia bisa mendapatkan keadilan sebagai warga negara.
“Saya sekarang cari keadilan, saya capek, saya takut nanti kalo ngajar lagi ke depannya kayak gini, gimana sama guru yang lain? Pelaku juga tahu kalo saya posisinya lagi hamil,” jelas EM.
Di waktu yang berlainan, kami menghubungi Kasat Reskrim Polres Karawang Oliestha Ageng Wicaksana. Dari keterangan polisi, kasus yang menimpa EM sedang dalam tahap penyelidikan. Laporannya baru diterima petugas pada Jumat lalu.
“Nanti akan kami buatkan undangan untuk dimintai keterangan kepada para saksi,” ujar Oliestha.
Komentar