Kepala SDN Karawang Kulon I Moh. Hasim didampingi relawan dari P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) Kabupaten Karawang, dan pengawas sekolah mengakui peristiwa yang menimpa EM memang terjadi di sekolah yang ia pimpin.
Pengakuan itu terlontar saat Ketua PGRI Karawang Nandang Mulyana mengunjungi sekolah pada Selasa (9/11) siang setelah berita yang menimpa guru honorer berinisial EM viral. Sebelumnya diketahui, seorang guru honorer perempuan sebut saja EM diduga mengalami kekerasan fisik dan persekusi di SDN Karawang Kulon I tempatnya mengajar. Buntut dari peristiwa itu, bayi dalam kandungan EM yang baru berusia dua bulan (versi pihak sekolah berusia lima minggu) keguguran. EM mengalami keguguran lantaran depresi dan trauma. Guru berusia 28 tahun itu pun sempat pingsan setelah mengalami dugaan kekerasan fisik dari orangtua murid sebut saja Fajar.
Meski pada saat kejadian ia tidak hadir, namun kepala sekolah mengakui telah terjadi dugaan kekerasan di salah satu ruang kelas di sekolah yang ia pimpin. Bahkan dugaan kekerasan tersebut disaksikan oleh para murid. Pengakuan dari Moh. Hasim juga diamini oleh Nur, pengawas sekolah Korwilcambidik Karawang Barat.
Pihak sekolah menyerahkan proses hukum yang sedang ditempuh oleh EM ke pihak berwenang. Sebab menurut Nur, proses hukum adalah hak pribadi EM yang tidak boleh diintervensi oleh siapa pun.
Kepada wartawan, Nur juga menuturkan, penyebab peristiwa yang menimpa EM diduga karena miskomunikasi antara EM dan orangtua Fajar. Saat ini pun, EM masih terdaftar di Dapodik sebagai guru di SDN Karawang Kulon I. Hari sebelumnya, hasil wawancara dengan redaksi, EM mengaku sudah melayangkan surat pengunduran diri dari sekolah karena merasa trauma dan takut.
Nur menawarkan kesempatan kepada EM untuk mengajar kembali. Mempertimbangkan trauma yang dialami EM, pihak sekolah menawarkan untuk menukar EM dengan kelas lain.
Sementara itu, Ketua PGRI Karawang Nandang Mulyana menuturkan, dalam koridor kegiatan belajar mengajar, apa yang dilakukan EM sudah sesuai prosedur.
“Dalam konteks PTM (Pembelajaran Tatap Muka) terbatas, EM sudah sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dalam pembelajaran di tengah pandemi,” kata Nandang kepada wartawan usai meminta keterangan dari pihak sekolah mengenai kronologi yang menimpa EM.
Nandang menduga ada gap antara guru dan orangtua wali/murid lantaran keterbatasan media komunikasi. “Mungkin keterbatasan alat komunikasi (saat pembelajaran daring) sehingga menimbulkan emosi sesaat, sampai kemudian timbul persoalan kepada guru.”
Nandang juga tidak melarang EM untuk melapor kepada polisi karena hal tersebut merupakan hak pribadi. Hanya, Nandang ingin mencoba mengomunikasikan EM dengan pihak sekolah, komite, dan orangtua murid yang bersangkutan.
“Harapan saya, jangan sampai terjadi hal-hal yang berkaitan dengan persoalan hukum. Mudah-mudahan persoalan ini bisa selesai di internal tidak masuk ke ranah hukum. Tapi itu (melapor ke polisi) hak ibu EM, saya tidak menghalangi atau pun intervensi,” kata Nandang.
Permasalahan yang menimpa guru tidak hanya terjadi sekali ini saja. Pengakuan Nandang, peristiwa serupa juga pernah terjadi di Kecamatan Tirtajaya dan Kecamatan Pakisjaya. Nandang berharap, peristiwa yang menimpa EM di Karawang Kulon merupakan peristiwa terakhir.
“Semoga tidak ada masalah-masalah lain kaitannya dalam konteks pembelajaran. Semua orang ingin kegiatan belajar mengajar bisa maksimal. Orangtua murid dan guru ingin maksimal, tapi kondisi seperti ini tidak mungkin kita harus belajar mengajar maksimal. Karena harus mematuhi protokol kesehatan,” kata Nandang.
Baca juga kronologi guru yang keguguran: Guru SD di Karawang Kulon Keguguran Diduga Karena Kekerasan Fisik dari Orangtua Murid
Komentar