KopiPagi.ID
  • Telisik
  • Tajuk Rencana
  • Tulisan Pembaca
  • Opini
  • Cerpen
  • Podcast
  • Telisik
  • Tajuk Rencana
  • Tulisan Pembaca
  • Opini
  • Cerpen
  • Podcast
Tidak ditemukan
Lihat semua hasil
KopiPagi.ID
Beranda Telisik

Compang-camping Glamping: Belum Berizin, Potensi Bencana

Redaksi oleh Redaksi
6 Agustus 2021
A A
Compang-camping Glamping: Belum Berizin, Potensi Bencana
Bagikan di FacebookBagikan di TwitterBagikan di Whatsapp

“Malah menguntungkan saya, lagian kan karena ada proyek ini (pembangunan wisata Glamping di area Puncak Sempur) sekarang ada yang kerja, warung jadi ramai, saya menyediakan makanan,” kata Akim, pemilik warung nasi di area wisata.

Di teras warung berukuran sekitar tiga kali empat meter, ia duduk di kursi kayu panjang buatan tangan sendiri sambil mengucapkan kalimat di atas secara tergesa-gesa. Ia khawatir jawaban yang ia berikan bisa menjadi bala di masa depan karena salah ucap.

Sejak awal persiapan pembukaan wisata Puncak Sempur, Akim telah banyak andil dalam membangun tempat yang masuk nominasi destinasi wisata dataran tinggi terindah dalam penghargaan Anugerah Pesona Indonesia (API) tahun 2020.

Baca Juga

KONI Karawang Target Masuk 10 Besar di Porprov Jabar 2022

Disparbud Karawang Curhat Anggaran Pemeliharaan Kampung Budaya Ditolak Dewan

Elf Lindas Pemotor di Tamelang, 7 Meninggal, 10 Luka

Polisi Dalami Kemungkinan Korban Dibunuh dalam Kasus Bocah S

Ia dan rekan-rekannya pada lima tahun lalu membabati area ini dan membentuknya menjadi destinasi wisata mengikuti arahan dari pengelola. Kemudian area wisata ini dibuka secara resmi oleh Bupati Cellica Nurrachadiana.

“Ya pertama dibuka sama Bu Celli itu tahun 2016 kalau enggak salah, pokoknya sudah (melewati) lima kali tahun baru,” katanya saat ditanya sejak kapan Puncak Sempur telah beroperasi.

Semenjak PPKM Darurat, objek wisata serentak ditutup di berbagai daerah, termasuk Puncak Sempur yang tidak beroperasi sampai saat ini. Karenanya dengan adanya aktivitas pembangunan destinasi wisata baru ini Akim merasa beruntung dapat kembali mengais rezeki untuk menyambung hidup.

“(Harapan) saya sih ya sih ingin anak dan istri sejahtera dari berjualan aja. (Warung) jadi ramai gitu. Kan sekarang masalahnya lagi PPKM terus ada pembuatan (Glamping) ini wisatanya jadi lebih ramai dan enak,” Kata Akim yang bermukim di bibir pintu masuk Puncak Sempur, sekitar satu kilometer dari area wisata.

Tepat di hadapannya para buruh jasa bangunan tengah mengaduk semen dan memasang batu kali untuk membangun turap sebagai penyangga area parkir wisata Puncak Sempur. Sementara tepat sekitar empat puluh meter di tepi kanan, dan belakang dari warung Akim, terhitung di atas area sekitar lima hektar, tiga eskavator beroperasi di bagian wilayah berbeda mengeruk tanah untuk pelebaran lahan demi membangun infrastruktur.

Pengerukan berlansung selama berjam-jam, menggali tanah agar kontur sesuai dengan yang diinginkan. Tampak juga di kulit pohon bekas benturan benda dengan daya kuat yang disinyalir berasal dari moncong eskavator di salah satu titik lokasi area pelebaran lahan.

Beberapa kali juga terdengar deru laju kendaraan berat berupa truk yang hilir mudik di jalur Puncak Sempur mengangkut batu kali. Bebatuan itu berdetakan dengan tepian batas ruang penyimpanan barang mobil truk hingga terdengar cukup bising. Lebih lagi manakala bebatuan itu diturunkan di tepi jalan dari mobil.

Di kejauhan pun terlihat meski dengan telanjang mata dari Cafe 99, sebidang tanah gundul tampak di Puncak Sempur. Tanah gundul itulah yang menjadi lokasi pengerukan tanah dari eskavator, samar-samar terlihat tenda darurat berdiri di area wisata.

Sepuluh menit dari Cafe 99, dari atas jalanan coran yang tak mulus-mulus amat dengan lebar yang juga tak besar-besar amat, hanya sekitar empat meter. Meski tampak jelas jalanan setelah dari kafe tersebut tengah berusaha untuk dilebarkan. Jalanan berkelok, menanjak dan menurun menjadi pengantar sebelum mencapai bibir Puncak Sempur.

Sayangnya, dengan medan yang terjal dan lebar jalan terbatas itu, tidak ada tanda yang memberikan kewaspadaan bagi masyarakat. Beberapa bagian jalan justru menjadi rusak dan berpasir karena jenis kendaraan dan mutan besar terus memberi tekanan. Lebih lagi tak ada pengawasan di setiap jalan menikung, hal ini semakin meningkatkan resiko terjadinya kecelakaan.

Nuansa alam yang dilintasi menjadi kurang bisa dinikmati karena pengguna jalan perlu menjadi lebih berhati-hati pada aktivitas yang tengah berlangsung selama berhari-hari, barangkali hingga beberapa bulan atau tahun kedepan. Suguhan udara sejuk dan nuansa hutan rindang akan kian terasa makin ganjil saat mendekati Puncak Sempur.

Tampak terlihat aktivitas pembangunan infrastruktur untuk area wisata yang dilakukan oleh eskavator maupun oleh buruh jasa bangunan yang tengah membangun turap. Suasana terasa menjadi lebih panas karena terik matahari tak tertahan oleh rindang pepohonan.

Juga akan ditemukan setumpukan batu kali dan toren berukuran tiga pelukan orang dewasa di atas permukaan tanah yang kulitnya disisir rapi moncong eskavator hingga bergerigi sepanjang 6270 meter. Juga ada saling silang antara pipa air, selang, dan pohon cemara kecil sepanjang terasering di atas tanah kering nan ganjil. Sajian pandang itu bercampur dengan terik matahari, debu dan suara-suara dentuman martil yang berusaha memecah batu besar.

Hamparan lereng yang tingginya lebih dari sepuluh meter dan dipenuhi belukar serta pepohonan di wilyah pegungunan Sanggabuana kini tengah mengubah bentuknya agar bisa sesuai dengan kebutuhan wisata glamping.

 

Compang-Camping Glamping

Sekitar satu bulan terakhir, mesin tiga alat berat jenis Ekskavator terus menderu di Puncak Sempur, Desa Cintalaksana, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Karawang. Ada dua pekerjaan yang sedang digarap. Pertama, proyek pelebaran seluas enam meter yang menghubungkan jalan akses Puncak Sempur. Proyek ini didanai dari APBD Karawang dan Pusat. Kedua, pekerjaan cut and fill untuk wisata alam Glamping (Glamorous Camping) di atas lahan seluas 6.270 meter2 milik pengusaha asal Karawang Saepul Riki.

Bila dipandang dari jauh, terlihat kontras antara lahan hasil cut and fill dengan tanah sekitarnya. Tanah Puncak Sempur yang hijau seluruhnya, terpotong tidak rapi secara horizontal oleh warna cokelat. Pemandangan ini membuat siapa saja–terutama dari kacamata awam–berasumsi negatif. Asumsi yang bisa saja berujung pada prasangka: ada yang mengubah kontur tanah, dan menggunduli tanaman. Dan keduanya dikerjakan oleh mesin, tidak alamiah.

Sumber Kopipagi mengatakan, aktivitas penataan lahan di area Puncak Sempur adalah konsekuensi dari masuknya destinasi wisata Puncak Sempur ke Anugerah Pesona Indonesia (API) kategori dataran tinggi setahun silam. Pernyataan sumber Kopipagi dikuatkan oleh pernyataan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Yudi Yudiawan setahun silam. Waktu itu pemerintah berjanji akan mengembangkan destinasi pariwisata Puncak Sempur dengan menambah beberapa fasilitas publik. Fasilitas baru yang dijanjikan pemerintah adalah wisata paralayang dan camping ground. Pemerintah sudah melakukan survei, dan realisasi janji tersebut dilaksanakan pada 2021. Meski begitu ketika dikonfirmasi, Disparbud menyanggah kalau proyek Glamping adalah bagian dari realisasi janji mereka.

Saepul Riki memastikan aktivitas penataan lahan dan Glamping sesuai ketentuan dan berkonsep ramah lingkungan. Namun ia tidak merinci seperti apa konsep ramah lingkungan tersebut. Ia hanya bilang, apa-apa yang dikeruk ekskavator akan digunakan kembali untuk pembangunan. “Kalau misalkan ada pasir, begitu kita gali ada pasir, ada batu, kita pergunakan di sini juga. Tidak ke mana-mana. Kita kumpulkan, tidak dibawa keluar,” katanya.

Kepada wartawan Kopipagi.id, Selasa (3/8) di lokasi penataan lahan, Saepul Riki mengakui ia mengubah kontur tanah. “Tadinya kontur tanah begini tuh (sambil mengangkat tangan sedada), curam. Kalau curam begitu kan kita tidak bisa memanfaatkan apa-apa. Akhirnya kita terasering, kita trap.”

Terasering, seperti yang dikatakan Riki, disesuaikan dengan kontur tanah. “Teraseringnya ada empat, kita inginnya rata, tapi kontur tanahnya curam. Jadinya empat trap sampai pinggir jalan.”

Sementara hamparan tanah bekas cut and fill sesuai janji Riki akan ditanami berbagai jenis pohon. “Cemara, pinus, glodogan, akar kuning, naracis pencoi, mahoni, sengon, trembesi, milenium, pete, dan duren.”

Riki juga sudah memperhatikan risiko longsor dan erosi. Untuk longsor, Riki akan memasang TPT (Turap Penahan Tanah), dan menanam pohon. Sementara untuk menahan erosi, Riki memasang pohon picung. Menurutnya, pohon picung ampuh dalam menyerap air sehingga bisa mencegah erosi. Sumber mata air sekitar diharapkan tidak rusak berkat kemampuan picung ini. “Malah pemerintah daerah akan bikin bendungan, fungsinya nanti untuk menampung air agar nanti saat musim kemarau bisa mengairi kebutuhan masyarakat di Kecamatan Tegalwaru dan Pangkalan.”

Secara singkat, Glamping adalah area perkemahan dengan fasilitas lengkap. Bedanya dengan kemah yang identik dengan fasilitas seadanya, wisatawan Glamping sudah dimanjakan fasilitas sejak masuk ke dalam kubah (biasanya dari kayu atau bahan alami lainnya). Kumah tersebut fungsinya sebagai tempat tidur sekaligus tempat rebahan wisatawan. Dalam kubah disediakan listrik, toilet, makanan siap santap, dan aneka kudapan.

Khusus area Glamping Puncak Sempur, ada fasilitas tambahan yang dijanjikan Riki. Akan ada kafe khusus yang bakal memberi edukasi kopi jenis robusta dan liberika, juga trubuk kepada wisatawan. Seperti yang diketahui, trubuk adalah sayuran dengan batang beruas-ruas mirip tebu. Trubuk banyak tumbuh di area Puncak Sempur, diklaim sebagai tanaman khas Desa Cintalaksana.

Di atas gunung juga akan berdiri kolam renang sebagai bagian dari Glamping. Luasnya 2×3 meter.

Riki tidak mau terburu-buru, Glamping miliknya ditargetkan bakal rampung pada 2023. “Ini mah pelan-pelan, kita terasering dulu, penataan dulu, tanami tanaman dulu. Paling bikin kopi shop saja, kalau Glampingnya jangka panjang. Karena kita lihat situasi pandemi, jangan terburu-buru, nanti pasarnya tidak ada.”

Pengusaha Karawang Saepul Riki

“Yang penting begini, tidak hanya untuk kopi, Karawang Selatan ini kan punya lokasi yang strategis untuk wisatawan. Di Karawang itu ada industri besar, mereka kalau gathering atau rapat mencari tempat di Karawang yang bertemakan lingkungan atau pegunungan agak susah. Sehingga cari ke daerah lain. Lembang, Ciater, Bogor, ke puncak. Kebanyakan orang Karawang juga begitu. Makanya kita sediakan tempat yang konsepnya pegunungan, ramah lingkungan, sehingga pangsa pasar yang besar ini tidak jauh ke mana-mana, bisa ke sini. Dan itu kan salah satunya bisa meningkatkan penghasilan asli daerah dari retribusi. Terus lihat ekonomi sekitar warga sini, kita bisa menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin, ke bawahnya kan bisa tumbuh warung-warung. Artinya harapannya dilihat dari ekonomi khususnya di Desa Cintalaksana itu bisa berkembang,” katanya panjang.

Namun, cita-cita panjang Riki ini terhalang kewajiban penting: perizinan.

Saat redaksi ke lokasi penataan lahan, Riki sempat menunjuk area lain yang bertetangga dengan lahannya. Di area seluas kurang dari lima hektare tersebut katanya akan berdiri resor, villa, dan wisata alam. “Itu punya pak Nace (maksudnya Nace Permana, ketua LSM Lodaya), ke bawah lagi itu punya pak Odih (salah seorang pejabat Disparbud Karawang).”

 

Belum Dapat Izin

Sumber Kopipagi menyebut, Saepul Riki sedang mengusahakan perizinan. Ia beberapa kali keluar masuk dinas. Perkara izin, semua dinas yang kami konfirmasi kompak menjawab: aktivitas cut and fill apalagi Glamping belum mengantongi izin.

Kepada redaksi, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Karawang Wawan Setiawan mengatakan ia bahkan belum menerima layout dan dokumen lingkungan. Padahal kedua syarat itu diperlukan untuk mendapatkan izin Upaya Pengelolaan Lingkungan-Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL UPL) dan izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Dua izin tersebut dikeluarkan oleh DLHK Karawang.

Setali tiga uang, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Karawang Eka Sanatha menuturkan pihaknya belum menerima pengajuan izin Glamping di Puncak Sempur. “Belum masuk ke kita, apalagi sekarang sistemnya OSS (Online Single Submission), kalau misalkan UMKM langsung pakai NIB (Nomor Induk Berusaha) dari sistem OSS. Di kita belum ada yang masuk Glamping pariwisata,” kata Eka.

Secara otomatis, DPMPTSP belum mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan izin Konfirmasi Kegiatan Pemanfaatan Ruang (dulunya disebut izin lokasi).

Sekretaris Dinas Pekerjaan umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Karawang Asep Azhar juga mengatakan hal yang serupa. “Di DPMPTSP dulu ada atau tidak, di sana tidak ada kan? Kalau di sana tidak ada, di sini jelas tidak mungkin ada,” katanya. Ia mengatakan belum ada pengajuan verifikasi site plan dari proyek Glamping Sempur.

Sementara itu Kepala Bidang Destinasi Pariwisata pada Disparbud Karawang Dede Prasmiadi Asmara mengatakan pihaknya belum menerima pengajuan berkas dari Glamping Puncak Sempur. Berkas yang diajukan salah satunya memuat dokumen IMB. Bila semua berkas sudah dipenuhi, Disparbud akan melakukan verifikasi terhadap berkas. Disparbud akan mengeluarkan TDUP (Tanda Daftar Usaha Pariwisata) bila berkas lolos verifikasi.

“Kalau IMB tidak ada, otomatis izin TDUP dari Disparbud tidak keluar. Siapa saja yang punya lahan, mau membangun apa saja, harus dilengkapi dulu proses perizinannya di IMB. TDUP dari kami belum keluar karena IMB sendiri mereka sudah proses belum?”

Dede juga mewanti-wanti Saepul Riki agar memperhatikan syarat dan pedoman teknis yang ditetapkan di Permen Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. “Misalkan mau bikin cottage, penginapan, hotel, semua harus memperhatikan syarat dan pedoman teknis,” katanya.

 

Bupati Minta Pending

Terpisah, Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana bakal menegur aktivitas penataan lahan dan Glamping di Puncak Sempur bila tidak sesuai aturan dan melanggar regulasi. Bupati mengaku belum tahu terkait ketiadaan izin penataan lahan. Ia berjanji akan secepatnya turun ke lapangan dan melakukan pengecekan.

“Harusnya DLHK Karawang melakukan pending (terhadap aktivitas penataan lahan dan Glamping) dulu bila benar tidak ada izin. Kan tidak boleh, biar bagaimanapun semua proyek itu harus melaksanakan izin, dan baru boleh beroperasi ketika izin keluar. Tapi nanti kita coba tegur DLHK-nya,” kata bupati.

 

Potensi Bencana, Ancaman Krisis Air

Peneliti Kebencanaan Willy Firdaus memperingatkan potensi bencana pada proyek Glamping Puncak Sempur. Bahkan bila pengelola tidak tertib pada regulasi, Willy khawatir Sempur akan bernasib sama seperti Puncak Bogor.

“Yang penting taat aturan, hormati lingkungan,” kata Willy.

Ia mencontohkan banjir pada Februari 2021 lalu. Curah hujan tinggi membuat beberapa wilayah di Karawang terendam. “Saya melihat ini potensi longsornya tinggi, karena lerengnya (di Sempur) sangat curam. Kemudian potensi banjirnya juga tinggi, terutama banjir bandang. Kalau hasil perhitungan saya di muara sungai Cigentis itu banjirnya sampai 3,2 meter di bulan Februari 2021 lalu. Dan untuk sungai Cicahem 4,2 meter. Nah kalau ada pembangunan dan penataan lahan sedemikian rupa di Puncak Sempur, itu harus kita hitung lagi kira-kira peningkatan risiko bencananya sampai mana, karena di bawah Glamping itu di bagian lerengan ada sungai yang bermuara di Cigentis. Bisa saja di tahun 2022 dengan curah hujan yang sama, banjir bisa lebih tinggi karena daya resapnya sudah menurun,” kata Willy.

Kemiringan tebing yang mencapai 60 derajat jadi alasan Saepul Riki untuk melakukan terasering. Namun perlu juga dicatat bahwa terasering membuat potensi longsor dan banjir bandang makin tinggi. Willy mengkritik cara Saepul Riki mengganti tanaman hijau yang dicabuti saat proses cut and fill. Menurutnya, semua pohon yang disebutkan Saepul Riki merupakan jenis pohon keras yang semestinya tidak tumbuh di Tegalwaru. “Katanya mau ditanami tanaman milenium, cemara, dan lain-lain. Harusnya ditanami tumbuhan lokal Tegalwaru dan Sanggabuana. Pesan saya, penanaman pohon jangan dijadikan gimmick saja. Kalau sudah ramai, banyak masyarakat yang tidak mendukung, mereka melakukan gimmick dengan cara menanam pohon di lerengan. Itu lucu buat saya.”

Tanah yang digarap untuk Glamping memang merupakan tanah milik pribadi, namun tidak mengurangi kewajiban pengelola untuk merampungkan izin, termasuk IMB. Apalagi lahan Glamping berbatasan dengan tanah Perhutani.  “Tinggal aturannya dipenuhi. Izin bangunannya, izin lingkungannya, UKL-UPL-nya, ini harus disegerakan. Apalagi di dalam UKL-UPL ada kajian perhitungan risiko bencana.”

Willy juga mengkritik cara Saepul Riki menggunakan pohon picung untuk menampung air. Risiko krisis air tidak akan selesai dengan cara seperti itu. Ditambah, meski pemerintah daerah berencana membangun banyak embung di daerah Selatan Karawang, hal itu tidak jadi solusi terhadap krisis air. “Saya tidak setuju, karena tanah di Selatan itu beda. Membuat embung atau tempat penampungan air memang akan terisi air saat musim hujan, tapi saat musim panas air pasti habis. Buktinya dilihat saja contoh di Situ Cibaya, Cijungkur, ketika musim kemarau ada airnya atau tidak?”

“Saya juga aneh kenapa pohon picung ditanam di area wisata. Apakah itu tidak terlalu membahayakan pengunjung? Karena tanaman picung itu buahnya sangat besar, kalau misalkan jatuh menimpa kepala, kepala manusia bisa pecah. Jadi menurut saya risikonya belum dikaji.”

Percuma, kata Willy, membuat ratusan embung di daerah Tegalwaru karena tidak akan menyelesaikan masalah kekeringan di Selatan. Sebab yang perlu dijaga adalah mata airnya. “Yang paling kecil saja mata air yang di Cipagah, Desa Wargasetra, Kecamatan Tegalwaru. Itu kan mata airnya bagus, masyarakat juga banyak mengambil air di situ. Nah itu saja yang dijaga. Jadi yang dijaga itu mata airnya, bukan pembuatan embungnya.”

“Bila mata airnya tidak dijaga, percuma, sungai-sungai permukaan juga kering. Kalau mau bicara soal penyelamatan sumber daya air di Sanggabuana, mata airnya dijaga, hutannya dijaga, lerengnya jangan dipangkas seenaknya. Kalaupun lerengnya mau dipangkas, mau dibikin terasering, kajian dan penelitiannya harus benar,” katanya.

Di bawah lerengan yang sekarang sedang ditata untuk Glamping, sambung Willy, terdapat titik mata air yang bermuara ke sungai Cigentis. Sekilas, titik mata air terlihat seperti genangan air. “Tapi kubangan selagi masih mengeluarkan air masih disebut sebagai mata air, musim kemarau tidak kering itu berarti mata air. Mata air di sana itu digunakan oleh hewan dan manusia sekaligus jadi sumber untuk sungai-sungai. Itu yang harus dijaga.”

Secara keseluruhan, Willy tidak menyebut penataan lahan yang dilakukan Saepul Riki merusak alam. Willy hanya menggarisbawahi soal penghitungan risiko-risiko bencana. “Kalau pembangunan sih tidak melanggar. Boleh saja. Tapi penghitungan risiko bencana sudah dilakukan atau belum?” (Tim Redaksi Kopipagi.id)

Redaksi

Redaksi

Artikel Terkait

KONI Karawang Target Masuk 10 Besar di Porprov Jabar 2022
Telisik

KONI Karawang Target Masuk 10 Besar di Porprov Jabar 2022

18 Mei 2022
Disparbud Karawang Curhat Anggaran Pemeliharaan Kampung Budaya Ditolak Dewan
Telisik

Disparbud Karawang Curhat Anggaran Pemeliharaan Kampung Budaya Ditolak Dewan

17 Mei 2022
Elf Lindas Pemotor di Tamelang, 7 Meninggal, 10 Luka
Telisik

Elf Lindas Pemotor di Tamelang, 7 Meninggal, 10 Luka

15 Mei 2022

Komentar

TERPOPULER

  • Satu Meninggal, Begini Kronologi Bentrok LSM di Karawang

    Satu Meninggal, Begini Kronologi Bentrok LSM di Karawang

    0 berbagi
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Polisi Ungkap Lima Tersangka Bentrok LSM, Tentara: Jangan Coba-coba Ganggu Keamanan

    0 berbagi
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Pengusaha Nasi Padang Gor Panatayuda Dibunuh Istri Pakai Jasa Pembunuh Bayaran

    0 berbagi
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Guru SD di Karawang Kulon Keguguran Diduga Karena Kekerasan Fisik dari Orangtua Murid

    0 berbagi
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Dua Anggota Ormas Diserang Orang tak Dikenal di Alun-alun, Satu Meninggal, Satu Kritis

    0 berbagi
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Tentang Kopipagi.ID
  • Redaksi
  • Kontak Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Iklan & Kerjasama
  • Karir

© 2021 kopipagi.id. All rights reserved

Tidak ditemukan
Lihat semua hasil
  • Beranda
  • Iklan dan Kerjasama
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi Kopi Pagi
  • Telisik

© 2021 kopipagi.id. All rights reserved

Jangan ditiru