Sejak ditetapkannya Undang-Undang Cipta Kerja dalam agenda Omnibus Law banyak menuai protes dari berbagai elemen pekerja bahkan masyarakat. Pada 2019 lalu, rakyat bersama elemen pekerja melakukan aksi besar-besaran dalam gerakan Reformasi Dikorupsi yang dilakukan serentak di seluruh Indonesia. Aksi Reformasi Dikorupsi bisa membuat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membatalkan beberapa pasal.
Namun, dalam waktu yang tidak lama, pemerintah melalui DPR RI menyepakati undang-undang Cipta Kerja. Pengesahan undang-undang Cipta Kerja yang dikebut dalam waktu yang singkat seolah melukai rakyat Indonesia. Pasalnya dalam penolakan undang-undang tersebut melewati aksi unjuk rasa yang sangat menyakitkan, bahkan di beberapa daerah di Indonesia sampai merenggut korban jiwa.
Federasi Serikat Pekerja Karawang (Fspek) Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Kasbi) memperingati 1 tahun Undang-Undang Cipta Kerja. Aksi yang dilakukan di depan gedung Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Karawang ini juga dihadiri oleh beberapa basis buruh dan elemen masyarakat. Hadirnya elemen masyarakat ini sebagai bentuk dampak dari Undang-Undang Cipta Kerja tidak hanya pada buruh, namun juga menjadi problem bagi seluruh sektor pekerja.
Selain itu, aksi tersebut dilakukan untuk memperingati hari jadi World Federation of Trade-Unions (WTFU) ke-76, pada tanggal 3 Oktober 2021 lalu. Hari jadi WTFU selalu ditandai sebagai hari aksi internasional, Fspek-Kasbi Karawang merayakannya pada tahun ini dengan melakukan aksi.
Ketua Fspek-Kasbi Karawang Rusmita mengatakan, aksi ini bertepatan dengan 1 tahun berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja. Menurutnya, selama 1 tahun ini banyak pekerja di sektor industri yang merasakan dampak negatif, ditambah banyak kerugian yang dirasakan langsung pekerja.
“Banyak pekerja di sektor industri yang merasakan langsung dampak negatif,” ujar Rusmita saat diwawancari di depan gedung Pemda pada Kamis, 14 Oktober 2021.
Dalam rilis yang dikeluarkan oleh Fspek-Kasbi ini ditulis bahwa demokrasi di Indonesia ditulis sebagaimana tugas dan kewajiban negara adalah untuk menjamin, melindungi, dan menghormati nilain-nilai hak asasi manusia. Namun, ketika masyarakat menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja dengan melakukan unjuk rasa, justru banyak aksi masa yang direpresif hingga mendapatkan diskriminasi. Dalam hal ini, Fspek-Kasbi merasa bahwa negara telah gagal dalam menjalankan demokrasi.
Selain itu juga, bagi Fspek-Kasbi bahwa pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai karpet merah bagi para oligarki. Oligarki yang dimaksud oleh Fspek-Kasbi ini juga disebutkan bahwa penguasa.
Rusmita juga menjelaskan keadaan pekerja sektor industri hari ini sangat memperihatinkan. Semenjak adanya Undang-Undang Cipta Kerja, perusahaan dengan mudahnya melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara massal hanya karena alasan pandemi. Selain itu, perusahaan juga memotong dan bahkan meniadakan pesangon bagi pekerja yang di-PHK.
Sementara, menurut Rusmita, pesangon merupakan benteng terakhir bagi pekerja. Dengan keadaan pesangon dipotong bahkan sampai tidak diberikan, membuat pekerja sangat dirugikan.
“Perhitungannya melalui omnibus law,” jelas Rusmita.
Keadaan selama hampir 2 tahun belakangan sangat memprihatinkan, tentu hal tersebut akibat dampak pandemi COVID-19. Banyak buruh di-PHK sepihak, upah tidak dibayarkan hanya karena alasan perusahaan merugi. Hal tersebut akibat dari Undang-Undang Cipta Kerja.
Dampak dari penerapan Omnibus Law itu tidak adanya kenaikan sektoral pekerja sektor industri di tahun 2021, bahkan beberapa daerah tidak mendapati kenaikan upah. Selain itu juga, potongan pesangon yang biasa dibayarkan sebanyak 32 bulan gaji dikurangi menjadi 25 bulan gaji dengan rincian 19 bulan dibayar pengusaha, 6 bulan gaji dibayar Jaminan Kehiangan Pekerjaan (JKP). Ditambah tidak adanya batasan jenis pekerjaan kecuali tenaga kerja outsourcing.
Berikut adalah tuntutan Fspek-Kasbi dalam aksi nasional:
- Pelayanan kesehatan umum gratis bagi semua kalangan
- Peningkatan kesejahteraan hidup bagi kaum buruh dan pensiunan/korban PHK
- Kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat/demokrasi
- Hancurkan rasisme dalam segala bentuk diskriminasi
- Perlindungan terhadap lingkungan hidup
- Solidaritas kaum buruh
- Semua orang yang mempunyai hak untu menentukan apa yang dia kehendaki mengenai hari ini dan masa depan.
Terpisah dengan tuntutan aksi nasional, berikut adalah tuntutan Fspek-Kasbi kepada pemerintah Indonesia dan Pemda Kabupaten Karawang:
- Cabut Omnibus Law dan seluruh PP turunannya; Peraturan pemerintah No. 34, No. 35, dan No. 37
- Tolak penghapusan upah sektoral, berlakukan kembali upah sektoral kaum buruh seperti semula
- Stop PHK sepihak, stop Union Busting, berikan jaminan kepastian kerja dan kebebasan berserikat
- Stop kirminalisasi dan penangkapan aktivis, bebaskan seluruh aktivis gerakan rakyat yang ditangkap dan dikriminalisasi
- Berikan persamaan hak dan perlindungan bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan seluruh buruh migrant; sahkan RUU PPRT
- Angkat seluruh penyuluh KB (PLKB) dan penyuluhan perikanan (APPBI) menjadi pegawai ASN, berikan gaji dan hak-haknya sesuai ketentuan
- Jamin dan lindungi kaum buruh di sektor industri: Pariwisata, Perhotelan, Perkebunan, Pertambangan, Perikanan, Kelautan, Kontruksi Transportasi, Driver Online, dan Ojol
- Berikan vaksin gratis untuk seluruh kaum buruh dan seluruh rakyat Indonesia
- Usut tuntas kasus korupsi BPJS TK dan korupsi Bansos pandemi COVID-19
- Tolak pemberangusan pegawai KPK, pekerjakan kembali 58 orang pegawai KPK seperti semula tanpa syarat
- Menuntaskan kemiskinan ekstrem yang terjadi di Karawang
Harapan
Polemik yang terjadi pekerja sektor industri ini membuat Rusmita mengkritisi kinerja baik pemerintah pusat maupun Pemda Karawang. Ia mengusulkan agar Pemda bisa mengkritisi pemerintah pusat dengan mencabut Omnibus Law. Selain itu, Pemkab Karawang juga harus berani mengeluarkan kebijakan yang tidak dikolerasikan dengan Omnibus Law.
Komentar