Merespons pernyataan Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian soal kemiskinan ekstrem di Karawang, pemerintah daerah langsung rapat. Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana memanggil semua Kepala OPD (Organisasi Perangkat Daerah) terkait dan 25 kepala desa.
Pemerintah daerah menganggap, penduduk yang mengalami kemiskinan ekstrem tinggal di 25 desa. Oleh sebab itu, Bupati melalui surat resmi memanggil para kepala desa bersangkutan untuk mengikuti rapat koordinasi percepatan penanggulangan kemiskinan ekstrem di Karawang. Beberapa waktu lalu, Tito Karnavian memang menyatakan, dari data BPS (Badan Pusat Statistik) terdapat 4,51 persen atau 106.780 jiwa penduduk Karawang yang mengalami kemiskinan ekstrem.
Kepala BPS Karawang Budi Cahyono, S.Si.,M.M ketika dikonfirmasi menuturkan, pihaknya tidak membuka data rinci soal penduduk miskin ekstrem. BPS hanya membuka data per kabupaten. Bukan per desa. Itu pun data berupa angka keseluruhan tanpa merinci alamat spesifik warga yang mengalami kemiskinan ekstrem.
Pernyataan Kepala BPS Karawang membuka pertanyaan, dari mana pemerintah daerah sampai pada kesimpulan hanya 25 desa di Karawang yang penduduknya mengalami kemiskinan ekstrem?
Bupati: Teman-Teman Melaporkan Bahwa Data Sebenarnya Tidak Seperti itu
Kepada wartawan, usai menutup rapat koordinasi, Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana menuturkan pihaknya akan melakukan penyesuaian data dengan BPS. Bupati juga menyatakan, data yang dikeluarkan BPS tidak masuk akal.
Hitung-hitungan kasar bupati, bila 106 ribu penduduk dengan kemiskinan ekstrem tersebar di 25 desa di Karawang, itu berarti satu desa rata-rata dihuni 4.200 orang dengan kemiskinan ekstrem. Sementara, kata bupati, penduduk rata-rata dalam satu desa ada 3.800 orang.
“Itu kan tidak mungkin. Penduduknya masa semuanya miskin ekstrem. Logika berpikir kami ya,” sambung bupati.
“Teman-teman (kepala desa) melaporkan bahwa data sebenarnya tidak seperti itu. Jadi kalau misalnya di lapangan, jujur ya, mereka (kepala desa) yang lebih tahu. Justru mereka melaporkan, di Kutakarya (Desa Kutakarya, Kecamatan Kutawaluya), misalnya, itu dari 11 ribu sekian (penduduk) memang ada yang masuk 14 kriteria miskin, jumlahnya ada 100 orang. Jadi hanya 0,05 persen, sekitar segitu. Kami tentunya ingin memperbaiki semuanya,” kata bupati beberapa waktu lalu.
Bupati mengaku tidak tahu tolak ukur apa yang digunakan BPS dalam menentukan angka kemiskinan ekstrem. Yang dia tahu, ada 14 kriteria rumah tangga miskin. Salah satunya adalah berpendapatan 1,9 dolar per hari per kepala keluarga. Bupati menyebut, 1,9 dolar setara dengan sekitar Rp30 ribu bila mengikuti kurs sekarang. Pernyataan bupati kemudian dibantah Kepala BPS Karawang.
Menurut Kepala BPS Karawang, keluarnya angka 1,9 dolar per hari didapat dari konvensi internasional yang dikeluarkan World Bank. “Miskin ekstrem didefinisikan sebagai kondisi di mana kesejahteraan masyarakat berada di bawah garis kemiskinan ekstrem, setara dengan USD 1,9 PPP (purchasing power parity).”
Bila dirupiahkan, garis kemiskinan ekstrem 1,9 dolar tidak bisa mengikuti kurs yang berlaku saat ini karena tiap negara punya faktor pembeda. Termasuk nilai inflasi. “Maka didapatlah nilai 1,9 dolar itu setara dengan Rp11.941 di Indonesia.”
“Estimasi 1,9 dolar Amerika (US $) tahun 2021 senilai Rp11.941 berdasarkan konversi USD PPP tahun 2017 yang digerakkan dengan perubahan IHK (Indeks Harga Konsumen) periode Maret 2017-Maret 2021,” katanya lagi.
Dalam rapat, bupati meminta para kepala desa mendata ulang data kemiskinan. “Nanti tinggal kita akurin datanya lurah dari warganya dengan data dari BPS. Ketika tidak sinkron, buat apa diberi bantuan? Nanti kita sinkronisasi dengan data BPS minggu depan.”
BPS Karawang: Hanya Sampai Data Kabupaten, Sampel Tidak Dipublish
Kepala BPS Karawang menyatakan, BPS adalah lembaga non kementerian yang melaksanakan pekerjaan statistik dasar sesuai Undang-Undang nomor 16 tahun 1997 tentang statistik. Cakupan statistik dasar adalah data yang makro. Itu berarti, BPS tidak menghasilkan data “by name by address”.
“Kami tidak boleh menampilkan data secara detail. Jadi munculnya (data) nanti tidak satu-satu,” kata Kepala BPS Karawang.
Statistik dasar meliputi kegiatan sensus besar seperti sensus penduduk, sensus pertanian, dan sensus ekonomi yang melibatkan seluruh komponen masyarakat. Sensus besar ini hanya bisa dilakukan oleh BPS.
BPS juga menyelenggarakan survei. Seperti survei angkatan kerja nasional yang nantinya menghasilkan data tingkat pengangguran. Juga survei sosial ekonomi nasional yang menghasilkan output berupa data kemiskinan.
Khusus soal data kemiskinan, BPS Karawang hanya mengambil data sampel di lapangan. Data tersebut kemudian dikirim ke provinsi. BPS pusat yang nantinya akan mengolah data tersebut.
“Di BPS pusat nanti akan muncul data kemiskinan per kabupaten, per provinsi, secara nasional. Untuk level kecamatan dan desa kami tidak punya. Itu yang kemarin dibahas (oleh bupati) munculnya sampai ke desa dan kecamatan, I don’t know. Mungkin data itu muncul dari dinas yang punya peranan statistik sektoral,” katanya.
Kepala BPS mengakui, selain statistik dasar yang dikerjakan pihaknya, ada juga statistik sektoral dan statistik khusus yang dikerjakan lembaga lain.
“Statistik sektoral dilaksanakan oleh dinas seperti dinas pertanian, dinas sosial. Mereka berhak melakukan itu. Sedangkan statistik khusus dilaksanakan oleh perorangan, organisasi, masyarakat. Seperti misalnya quick count,” katanya.
BPS tidak mungkin mempublikasikan data kemiskinan sampai ke tingkat sampel. “Sampel itu bagian dari populasi. Misal, 2,4 juta populasi di Karawang, sampelnya cuma 1.040 rumah tangga untuk mewakili 2,4 juta tadi.”
Kemiskinan dan Kemiskinan Ekstrem
Terdapat perbedaan antara penduduk miskin dengan penduduk miskin ekstrem. Data dari BPS, tahun 2021 terdapat 10,14 persen warga Indonesia yang mengalami kemiskinan. Di tahun yang sama, kemiskinan ekstrem mencapai 4,0 persen warga Indonesia.
Di Karawang, per tahun 2020, 8,26 persen atau 195,41 ribu penduduk Karawang berada di bawah garis kemiskinan. Bila dibandingkan tahun 2019, angka tersebut naik 21,75 ribu jiwa. Jumlah ini menempatkan Kabupaten Karawang di urutan tujuh dari 27 kabupaten/kota di Jawa Barat yang “juara” di angka kemiskinan. Posisi pertama diraih oleh Kabupaten Bogor dengan 465,67 ribu jiwa, dan urutan terakhir ditempati Kota Banjar dengan jumlah 11,16 ribu jiwa.
BPS menetapkan garis kemiskinan di Karawang sebesar Rp466.152 pendapatan per kapita per bulan. Rumah tangga dengan penghasilan di bawah itu dianggap miskin.
Pendapatan Rp466.152 per bulan setara dengan Rp15.538 per hari. Sementara garis kemiskinan ekstrem berada di angka pendapatan Rp11.941 per hari.
“Pendapatan di bawah Rp15.538 per hari dianggap miskin, sedangkan pendapatan di bawah Rp11.941 dianggap miskin ekstrem,” kata Kepala BPS.
Singkatnya, di Karawang, semua orang yang masuk kategori miskin ekstrem adalah juga bagian dari kategori miskin. Namun tidak semua yang masuk kategori miskin juga masuk kategori miskin ekstrem.
106.780 penduduk Karawang yang masuk kategori miskin ekstrem adalah juga bagian dari 195,41 ribu orang dalam kategori hidup di bawah garis kemiskinan versi BPS per maret 2020.
Sekda Karawang Acep Jamhuri juga salah sangka dalam menilai data tersebut. Sekda menyangka, data kemiskinan yang dikeluarkan BPS per Maret 2020 adalah juga data kemiskinan ekstrem yang disebut Wapres Ma’ruf Amin dan Mendagri Tito Karnavian.
Kata Sekda kepada wartawan, Senin (4/10), Kabupaten Karawang berada di peringkat 14 se-Jawa Barat dalam kemiskinan. Peta kemiskinan di Karawang mencapai 8,26 persen.
“Kita itu ada di posisi 14 dari 27 kabupaten dan kota di Jawa Barat. Jadi kalau dikatakan miskin ekstrim darimana ya,” katanya.
“Saya juga tidak tahu data yang pakai oleh pemerintah pusat hingga Karawang masuk lima besar kemiskinan ekstrim. Saya kira ada salah paham mengenai data tersebut sehingga kita akan evaluasi,” katanya.
Dinsos Mengaku Data Miliknya Tidak Valid
Plt. Sekretaris Dinas Sosial Karawang Danilaga menyangkal pernyataan BPS Karawang. Pihaknya tidak pernah mengeluarkan pernyataan penduduk dengan kemiskinan ekstrem ada di 25 desa.
“Data tersebut diambil dari TKPKD (Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah). Tiap kabupaten kota ada tim itu. TKPKD itu yang menetapkan kaitan dengan kemiskinan ekstrem. Datanya diambil dari data kemiskinan dan komponen-komponen lainnya,” katanya.
Meski demikian, ia tidak menampik kalau Dinas Sosial Karawang jadi bagian dari TKPKD. Termasuk juga menyuplai data ke tim tersebut. “Bukan Dinsos sendiri. Bappeda yang lebih dominan. Kami ada tim.”
Danilaga mengutarakan, memang ada perbedaan data kemiskinan antara BPS dan Dinas Sosial melalui DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial).
“Data awal di DTKS itu sumbernya dari Kementerian Sosial. Data dari Kementerian Sosial itu sumbernya dari data BPS per tahun 2015. Data itu oleh kami setiap tahun diverval (verifikasi dan validasi). Makanya data berubah-ubah dan terdapat perbedaan,” sambungnya.
Lebih dari itu, perbedaan juga berasal dari kriteria rumah tangga miskin. Dalam hal ini, BPS punya 14 kriteria, sedangkan Dinas Sosial Karawang punya 11 kriteria. 11 kriteria ini berasal dari 14 kriteria yang ditetapkan BPS. Termasuk di antaranya jumlah penghasilan per individu per tahun, dan kepemilikan aset.
Selisih data antara Dinas Sosial dan BPS memang tidak terlalu jauh. Danilaga tidak menyebutkan berapa jumlah pastinya, ia hanya menyebut data penduduk miskin di Dinas Sosial lebih tinggi dari data milik BPS.
Dinas Sosial mengakui, DTKS tidak selalu valid. Alasannya, verifikasi dan validasi yang dilakukan oleh operator desa di tingkat desa, kelurahan, dan kecamatan tidak serentak.
“Memang verifikasi dan validasi sudah menjadi paket yang harus dilakukan desa dan kelurahan. Mereka yang melakukan perbaikan data itu. Namun tergantung keaktifan mereka. Ada yang secara realtime melakukan perubahan, ada yang tidak. Ada yang aktif, ada yang kurang aktif, itu yang mempengaruhi kondisi data secara keseluruhan.”
Komentar