Oleh: Faizol Yuhri (pimpinan redaksi kopipagi.id)
Selain kesejahteraan dan upah, bagian buruk dari profesi wartawan adalah kami selalu lebih tahu duluan sebelum pembaca atau pemirsa. Di masa pandemi, kabar yang sampai duluan ke hadapan kami selalu kabar buruk.
Di awal pandemi, sebelum kabar buruk itu sampai di mata pembaca, ia lebih dulu menyapa kami tiap sore di halaman Makodim 0604/Karawang, markas Satgas Penanganan Covid-19 Karawang. Angka penularan, kematian, jenazah ditolak, kuburan massal, tenaga medis tumbang, semua kabar buruk itu kami terima, kami sajikan utuh ke hadapan pembaca.
Kira-kira sekira jam empat sore, paling telat jam lima, kami kumpul di Makodim dengan jiwa sempoyongan, bertanya dalam hati kira-kira hari ini berapa lagi yang tertular dan mati. Waktu itu pengetahuan umat manusia soal Covid-19 masih serba terbatas. Semua orang masih takut. Demikian juga kami. Kami jaga jarak, mengenakan masker ganda, mengantongi pembersih tangan di saku.
Kata ahli, masker ganda jauh lebih efektif menghalau sebaran virus. Meski begitu, kami tetap bisa menangkap air muka lawan bicara di balik masker ganda. Kami bahkan sudah tahu kira-kira bakal menulis apa saat Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Karawang dr. Fitra Hergyana memulai konferensi pers. Bila ia menghela napas pendek di balik maskernya, sebelum mulai bicara lewat mikrofon, itu artinya pandemi terkendali. Sebaliknya kalau napas panjang yang ia tarik, itu berarti angka kematian dan penularan tidak bisa dikendalikan. Yang sering terjadi adalah ia kerap mengela napas panjang.
Semua orang tahu Covid-19 merupakan mimpi buruk bagi kota yang tidak pernah tidur. Bagi kota dengan mobilitas tinggi. Karawang termasuk. Kami ikut kena hantam pandemi sejak gelombang pertama sebagaimana Jakarta dan kota pinggirannya. Menko Bidang Kemaritiman dan Invetasi Luhut Binsar Panjaitan bahkan sampai memberikan perhatian untuk kota lumbung padi ini. Pada 17 Juli 2021, secara khusus ia meminta klaster industri dari Kabupaten Karawang diawasi dan dikendalikan segera.
Kata “pengawasan” seperti yang dimaksud Luhut sama artinya dengan menggenggam pedang tanpa gagang. Kita ayun pedang itu ke kanan kiri depan belakang untuk menghalau Covid-19, di sisi lain, ujung tajam pedang melukai kedua telapak tangan kita. Pengawasan dan segala kebijakan pembatasan yang mengikuti di belakangnya memang efektif menekan penularan virus. Di sisi lain, sektor ekonomi lesu buntut dari kebijakan itu. Meski tidak mengenai bagian vital, hanya telapak tangan, manusia tetap akan sekarat kehabisan darah bila dibiarkan terluka tanpa diobati.
Kantor media juga kena dampak. Badai krisis paling parah menghantam kantor media lokal yang sepenuhnya bergantung pada omzet. Iklan seret, pemasukan Adsense tidak menutup ongkos operasional apalagi gaji wartawan. Di luar itu semua, kami punya kewajiban menembus badai di luar kantor demi mengabarkan pandemi, bukan mengaburkan.
Saat gelombang dua menerjang membawa varian Delta, kabar makin buruk. Oksigen habis, banyak penderita Covid-19 sesak napas. Oksigen habis, beberapa dari kami tetap meliput di tengah kekhawatiran. Oksigen habis, kami tetap menulis berita kenaikan angka kematian dan penularan. Keluarga kami, orang-orang terdekat yang kami kasihi, ada di antara angka-angka itu.
Survei persepsi diri wartawan saat pandemi yang dilakukan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjajaran menyebutkan 45,92 persen wartawan di Indonesia mengalami gejala depresi di tengah wabah Covid-19. 57,14 persen wartawan Indonesia juga mengalami kejenuhan umum.
Survei yang dilakukan ke 98 wartawan secara daring itu juga mengatakan, tenaga medis mengalami gelaja depresi sebesar 28 persen.
Tidak heran, kami berada dalam profesi paling rentan terpapar Covid-19 bersama profesi tenaga medis, polisi, dan tentara. Kami berada di garis depan sambil memikul ketakutan menularkan Covid-19 ke keluarga di rumah. Beban itu sama sekali tidak ringan.
Pada 26 Juni 2021, beredar video pasien gawat darurat dengan gejala sesak napas berdesak-desakan di tenda darurat depan RSUD Karawang. Kondisi di dalam ruang IGD seperti sekoci dihantam ombak tinggi: kacau dan berantakan.
Pemirsa menyaksikan video itu dari televisi, atau perangkat ponsel pintar. Pemirsa takut, gelisah, sambil menggumamkan doa-doa semoga segalanya selamat dan kembali seperti biasa.
Kami melafalkan doa yang sama. Bedanya, kami yang merekam video itu di lapangan. Kami melihat pasien satu persatu tumbang dengan mata kepala kami. Kami dua kali lebih takut, dua kali lebih gelisah.
Ketika itu, antrean untuk pasien yang sedang berjuang bertahan hidup sama panjangnya dengan antrean peti mati. Ruangan IGD dan tenda darurat yang sengaja dipasang karena ranjang penanganan pasien Covid-19 penuh, berada di bagian depan rumah sakit. Sementara ruang pemulasaraan jenazah Covid-19 ada di bagian belakang rumah sakit.
Karena banyak pasien kritis, RSUD Karawang yang jadi rumah sakit rujukan pasien Covid-19 kekurangan mobil ambulans. Solusinya, mobil pengantar jenazah difungsikan sementara untuk menjemput pasien. Tentu dalam kondisi normal, itu bukan solusi baik. Laju pasien kritis seturut dengan naiknya angka kematian. Petugas pemulasaraan kekurangan orang. Antrean jenazah yang menunggu dipulasarakan memanjang sampai ke ranjang perawatan. Pernah ada kasus pasien yang masih hidup tidur satu ruangan dengan jenazah.
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO merilis tata cara penanganan jenazah terpapar Covid-19. Demi mencegah penularan, jenazah perlu diberi penanganan khusus, termasuk dimasukkan ke dalam peti mati dan dikubur menggunakan protokol tertentu. Tata cara ini memakan waktu dan butuh penanganan dari petugas yang terlatih.
Peti mati berisi jenazah terpapar Covid-19 juga ikut mengantre membentuk barisan panjang. Mobil pengantar jenazah sedang sibuk melayani pasien hidup, petugas pemakaman sama sibuknya. Kekacauan itu kami saksikan sendiri. Beberapa dari kami membawa pengalaman itu ke ranjang tidur, menjadi mimpi buruk.
Baru kali itu kami—setidaknya saya—mendapatkan pengalaman betapa dekatnya jarak kematian dan kehidupan.
Di masa pandemi, tidak ada WFH buat wartawan. Semua tempat bagi kami merupakan rumah tempat kerja. Pagi meluncur ke RSUD Karawang, agak siang melesat ke ruang rapat Pemda Karawang, sore ke Makodim 0604/Karawang.
Pandemi membuat segalanya tidak lagi sama. Pun begitu dengan profesi kami. Juni 2020, sekira tiga bulan setelah serba canggung menangani pandemi, presiden Joko Widodo mengaungkan “new normal”. Normal yang baru. Kami dipaksa cepat beradaptasi.
Tidak ada lagi liputan berdesak-desakan. Setiap konfirmasi berita kalau bisa cukup dilakukan lewat telepon atau panggilan video. Bila materi berita agak berat, bisa via Zoom.
Dalam kondisi tertentu, narasumber memerlukan kehadiran wartawan secara fisik bukan virtual. Setidaknya dua minggu sekali, hidung kami berkawan akrab dengan tongkat alat usap.
Wawancara paling berat buat kami adalah dengan palang putih di pemakaman khusus Covid-19. Palang putih adalah istilah yang kami, wartawan Karawang, buat sendiri untuk menamai petugas pemulasaraan jenazah terpapar Covid-19. Alasannya tidak lain karena mereka serba putih: hazmat putih menggotong peti putih. Mereka pahlawan berkuda putih seperti dongeng-dongeng Eropa yang rela menolong tanpa pamrih.
Bila palang merah dan palang hitam adalah para petugas medis yang berjaga dan berperang di garis depan pandemi, palang putih menunggu di garis belakang, memakamkan para pahlawan perang.
Dalam tiga hari, 25 sampai 27 Juni 2021, 153 warga Karawang meninggal karena Covid-19. Juni 2021 memang bulan mencekam. Varian Delta sedang ganas-ganasnya, oksigen langka, dan antrean panjang ruang gawat darurat rumah sakit di Karawang. Kami sangat tahu, kami bisa saja jadi salah satunya. Ikut mengantre, atau dikubur tim palang putih. Semua orang takut mati, termasuk wartawan. Namun kami juga tahu, menjadi wartawan berarti harus siap menerima risiko yang menyertai profesi ini.
Pandemi gelombang dua ini benar-benar mencekam. Karawang selama berminggu-minggu duduk di posisi pertama untuk kasus penularan dan kematian terbanyak se-Jawa Barat.
Tanpa tunggu lama, 28 Juni 2021, sehari setelahnya, Pemkab Karawang mengalihkan lahan seluas 1,2 hektare di Desa Sumurkondang, Kecamatan Klari, Karawang untuk kuburan khusus Covid-19. Pembukaan lahan baru untuk pemakaman Covid-19 merupakan kali kedua di Karawang setelah lahan seluas kurang lebih lima hektare di TPM (Taman Pemakaman Muslim) Al-Azhar Karawang hampir penuh.
Petugas palang putih tidak memiliki latar belakang pendidikan medis. Mereka orang-orang biasa yang kerap kita temui di tengah pasar atau di jalan-jalan. Daripada petugas, mereka lebih seperti relawan. Bekerja tanpa ikatan dinas dan kontrak kerja.
Seorang guru sebuah SMK di Karawang, Hendra Boim (44), salah satu petugas palang putih yang kerap diwawancarai wartawan Karawang. Ia bersama 10 orang lain yang hatinya sama-sama putih mulai bekerja sebagai relawan dari awal pandemi, Maret 2020. Saat gelombang dua, relawan di palang putih bertambah banyak, terdiri dari lima tim yang beranggotakan masing-masing delapan orang.
Hendra bukan Superman, tentu saja. Ia masih manusia biasa, punya satu nyawa, bertulang dan berdaging. Ia jelas punya rasa takut.
Suatu ketika di sela-sela wawancara, kami bertanya mengapa ia mau saja terjun sebagai relawan penguburan jenazah terpapar Covid-19. Ia tentu tahu risiko bisa tertular Covid-19 kapan saja. Kami ingin tahu batas antara nekat dan berani. Boim menjawab: doa seorang istri dan dua anak saya sudah terlalu cukup buat melindungi saya.
Kami merenungi jawaban itu. Benar, pandemi mengubah semua orang jadi pengecut. Diam di rumah, bersembunyi di balik masker. Menjaga jarak. Di balik itu semua, selalu ada orang seperti Hendra. Seandainya saya berhak menamai ruas jalan di Karawang, saya bakal menamai salah satunya dengan nama Hendra. Ia pahlawan, dan nama pahlawan di Indonesia selalu diingat sebagai nama jalan.
“Apa itu cukup?” tanya saya.
“Mungkin karena alasan kemanusiaan juga sih, kang,” jawabnya.
Ingatan saya terlempar ke masa awal pandemi. Banyak orang kalap memborong cairan pencuci tangan dan masker. Di gelombang dua, banyak orang masih kalap. Bedanya, yang diborong gas oksigen. Nilai kemanusiaan menjadi buram. Di luar sana, Sarah Gilbert, penemu vaksin AstraZeneca, menggratiskan paten temuannya. Tujuannya supaya harga vaksin bisa ditekan lebih murah. Di sini, di dekat sini, kita punya orang-orang seperti Hendra. Hendra atau Sarah Gilbert, keduanya harus dicatat, keduanya dapat tempat.
Meski tidak cukup, jawaban Hendra Boim menguatkan kami. Kami bisa kapan saja jadi mayat yang digotong Hendra dan kawan-kawan ke pemakaman, sebaliknya, Hendra dan kawan-kawan bisa saja jadi berita angka kematian yang kami tulis. Di tengah pandemi, kami memang tidak punya apa-apa selain memiliki satu sama lain. Itu saja sudah cukup.
Komentar