Hari Pers Nasional (HPN) selalu dirayakan dengan megah gempita. Perayaan HPN 2022 secara nasional diselenggarakan di Kendari, Sulawesi Tenggara. Reklame ucapan, spanduk, tenda, bertebaran di Kendari. Perayaan yang tidak kalah gempita juga diselenggarakan di tingkat provinsi masing-masing. Tingkat kabupaten/kota pun tidak ketinggalan, ikut merayakan HPN.
Pertanyaannya: perlukah kita, wartawan, merayakan HPN besar-besaran? Perlukah kita merayakan kebebasan pers di tengah belenggu klasik profesi pers Indonesia: upah rendah, ancaman dipenjara, dan kapitalisme perusahaan pers?
Kami wartawan secara sadar dan waras mengakui kalau kualitas jurnalistik di Indonesia mengalami kemunduran. Tentu internet–dan perilaku penggunanya–yang mendangkalkan “depth reporting” bukan satu-satunya penyebab.
Dalam bekerja, kami kadang abai dengan kedalaman berita dan kaidah nilai berita. Kami harus berkejaran dengan waktu mengejar “jam tayang”. Lebih cepat naik, lebih baik. Di lapangan, kami bersaing dengan rekan seprofesi untuk secepat-cepatnya mengabarkan berita ke mata pembaca. Kami tahu, cepat-cepat mengabarkan, sedikit banyak bakal mengaburkan.
Penyebab utama dan satu-satunya pendangkalan kualitas jurnalisme Indonesia adalah kapitalisasi media. Pemilik media melakukan hegemoni dengan memiliki lebih dari satu kantor berita, mendesak redaktur menaikkan berita lebih banyak dan lebih cepat dari media saingan. Kami, wartawan di lapangan yang jadi struktur terakhir alias ujung tombak sistem ini mau tak mau dipaksa memilih: tunduk pada sistem, atau hengkang dari industri pers.
Belum lagi ada Google dan produk adsense-nya. Kehadiran adsense di Indonesia tanpa pengawasan dan regulasi ketat dari pemerintah pusat mampu menyeret kue iklan milik perusahaan media. Dulu, omzet perusahaan media berasal dari iklan dan penjualan koran. Sekarang di era internet, koran tidak laku dijual dan perusahaan tidak mungkin menarik ongkos berlangganan ke pengunjung situs media daring. Sementara iklan lari ke adsense. Ditambah kehadiran influencer media sosial dan youtuber yang punya audiens spesifik. Satu per satu kantor media rubuh karena jangankan menarik omzet, biaya operasional pun tidak terbayar.
Kantor media yang bertahan, secara gagap dan kalut mencoba menyesuaikan zaman. Karena gugup, apa saja digarap. Termasuk laporan “live” via media sosial, berita gosip–yang dulu jadi wilayah abu-abu bagi jurnalistik–dikutip sebagai “headline” berita, dan lain sebagainya. Semua demi mengejar klik agar adsense bertambah.
Di tengah itu semua, redaksi Kopipagi.id lahir. Kami mengabaikan adsense. Kami tidak peduli berita kami dibaca banyak orang atau tidak. Yang kami tahu, jurnalisme harus berbobot. Bernas.
Itu mengapa, dalam sehari kami paling banyak menaikkan tiga berita. Kami ingin menghadirkan berita berkualitas ke pembaca setia kami tidak peduli konsekuensi apa pun yang ke depan bakal menimpa.
Kami ingin menulis berita bukan dari sesuatu yang viral. Kami tidak mau terjebak pada kabar bombastis. Lebih dari itu kami ingin memberikan mikrofon kami ke masyarakat pinggir. Orang-orang yang selama ini suaranya tidak terdengar dalam ingar-bingar pembangunan. Biar mereka bicara. Biar mereka menyampaikan keluhan mereka.
Doakan kami tetap kuat dan bertahan, ya. Karena kami ingin mengabarkan, bukan mengaburkan.
Komentar