Oleh: Rizki Andika (wartawan media kopipagi.id)
Tiga hari lalu saya beruntung bertemu dengan Hari Berpisah dengan Cita-cita yang dibuat oleh Nobisuke, ayah dari Nobita dalam serial kartun Doraemon. Kira-kira pukul sebelas siang tadi saya memikirkan cara yang paling mudah untuk dapat hidup dan bertahan jika bulan depan memilih meninggalkan pekerjaan sebagai wartawan di media lokal.
Baru tiga puluh minggu saya menjalani profesi ini. Masih sedikit sekali pengalaman dan persoalan buruk yang dihadapi menjadi wartawan, lebih lagi soal berhadapan dengan pandemi Covid-19. Saat bergabung, hal yang terbayangkan ialah tulisan saya bisa dibaca masyarakat. Sangat belia.
Suatu waktu kabar rekan satu profesi positif terkena Covid-19. Saya kira tentu kabar ini sampai di alat pendengaran tiap jajaran perusahaan media di Karawang. Saya bingung, baik di perusahaan media tempat saya bekerja, maupun media lokal lain, mungkin juga para kontributor untuk media nasional. Tak satu pun perusahaannya memposisikan diri untuk tanggung jawab atas rekan satu profesi di daerah.
Hampir sebagian besar media yang tumbuh di Karawang tidak menyediakan fasilitas swab tes bagi wartawan secara berkala. Walau saya juga tak tahu apa yang terjadi di daerah lain. Tempat saya bekerja misalnya, hanya menyediakan masker di kantor, pernah sesekali memberi satu set vitamin dan peningkat imun. Ajakan untuk swab tes justru datang dari rekan-rekan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) di Karawang. Baik sekali memang mereka kepada saya.
Padahal perusahaan media memiliki tanggung jawab atas kesejahteraan wartawan, termasuk di tingkat lokal. Sebagai mesin yang membuat produksi perusahaan tetap bergerak, mestinya kondisi kesehatan diperhatikan lebih serius. Magnet kebutuhan antara pekerja dan upah terasa terus didekatkan agar monopoli dalam ruang kerja macam ini dianggap lumrah.
Sementara pilihan terkena dampak pandemi virus ini ada di depan mata, meski tertutup masker berlapis, interaksi yang terbatas juga tak menjaminan kan. Entah bagaimanana pola persebarannya dapat berkecamuk, tiba-tiba awal tahun lalu Karawang sempat akan kembali ke aturan PPKM level 3. Ini kan semakin membuat rekan wartawan was-was, terutama saya merasa trauma.
Sedangkan untuk mempertahankan diri sendiri di lapangan sebagian wartawan di Karawang masih perlu bermodal sendiri. Satu-satunya yang vital dari berhadapan dengan nasib ini hanya masker. Pembersih tangan pun kalau kebetulan ada di lokasi atau mampu beli. Pengeluaran untuk bekerja secara aman dan sehat ini rasanya tak didukung oleh para perusahaan media. Belum lagi soal risiko tekanan secara mental yang muncul di lapangan pasca Covid-19.
Sepertinya baik di daerah maupun di ibu kota soal upah sama-sama kesulitan. AJI (Aliansi Jurnalis Independen) di Jakarta sampai membuat penetapan upah layak untuk wartawan Jakarta pada tahun 2021 sebesar Rp 8.366.220. Tapi Jakarta, setidaknya pihak ketiga seperti perusahaan Kalbe pernah membuat program tantangan untuk menyehatkan wartawan sejak Oktober 2021 hingga Januari 2022. Secara fisik dan mental wartawan ibu kota mendapat kontrol dan perhatian.
Di daerah seperti Karawang ini mana ada. Penetapan upah layak pun rasanya bergantung suasana hati pimpinan perusahaan. Bagian ini yang saya kira sudah mesti dipandang dua mata lebar-lebar. Mulai menghentikan pemakluman atas derita yang ditanggung secara kolektif oleh wartawan.
Kesejahteraan mestinya dapat menunjang secara fisik dan mental lebih lagi dengan kondisi seperti ini, baik kebutuhan hidup maupun cita-cita ideal sebagai insan pers. Dari cerita yang terdengar, kondisi seperti ini sudah bertahan lama, kemudian diperparah dengan pandemi Covid-19. Mulai dari pengurangan pekerja media, sampai hal mendasar lain seperti pengurangan fasilitas di kantor.
Kemerosotan ini memang terasa sejalan dengan hilangnya iklan, masyarakat cenderung lebih mengandrungi informasi yang bersumber pada media sosial. Sayangnya medium itu jauh dari kontrol etik dan kualitas sajiannya pun lebih banyak memicu keributan. Kalau saja bagian tantangan ini dapat dihadapi dengan optimal mungkin kesejahteraan wartawan terasa lebih baik.
Entah bagaimana kata optimal di atas tadi perlu bekerja, membangun jejaring kerja sama dengan pemerintah daerah mungkin jadi salah satu jawaban. Tapi irisan pentingnya kontrol atas demokrasi bisa dipertanyakan dan terancam. Terlalu naif juga rasanya kalau saya pribadi mengharapkan masyarakat turut terlibat dalam kesejahteraan tiap wartawan. Memang kualitas informasi yang berbayar jauh lebih bagus dan konsturktif tapi tak sejalan dengan kondisi di daerah.
Pilihan lain dengan memilih berjejaring dengan organisasi nirlaba yang berdasar pada kepentingan sosial di tingkat daerah pun susahnya bukan main. Kami tak punya kedekatan sampai ke arah sana. Melibatkan komunitas dalam produk jurnalisme warga pun masih susah bukan kepalang.
Seandainya saja media disadari sebagai salah satu faktor yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat, sarana informasi bisa menjamin para pekerja media. Cara pandang masyrakat melihat profesi wartawan bisa setara dengan para buruh pekerja pabrik di Karawang misalnya.
Bagian penting kemerosotan dirasa justru berpangku pada kesiapan perusahaan memilih bergerak pada ranah informasi. Bukan hanya membayangkan dapat menggerakan arus informasi, tapi juga mengikis persoalan kesejahteraan wartawan sebagai profesi.
Walau tak setara dengan malaikat yang menyampaikan wahyu, dan tak cukup disebut juru tulis, tetap saja kami perlu menulis sesuatu setiap harinya untuk perusahaan. Entah langit sedang gelap, ban motor bocor, menangis, atau bahkan cuma punya uang dua belas ribu di dompet. Pandemi membuat kebutuhan primer meningkat, termasuk dari harga dan ketersediaan barang yang minim. Bahkan sampai ke cara laku dan respon masyarakat bergeser kian bias.
Tapi kami seolah terus dihadapkan dengan kenyataan mesti tahan dengan perut keroncongan agar dapat mengejar sumber informasi, mengabarkan dan berdasar pada fakta di lapangan. Risiko terdampak dan turut menyebarkan Covid-19 ini bukan tidak dipandang, tapi tak ada pilihan. Padahal data kematian terbanyak se-Jawa Barat di Karawang bukan cuma angka.
Rasanya jadi kian sulit membayangkan perasaan dan pengalaman rekan wartawan yang bekerja sejak awal pandemi Covid-19 menyebar di tanah air. Pengalaman batin menyaksikan kondisi buruk habisnya persedian oksigen, atau para penderita yang sesak napas. Tapi mereka tetap terus menulis kabar meski terbayang-bayang kematian, risiko tertular dan jadi penular.
Angka korban meninggal, jenazah tak diterima di tempat pemakaman umum, tingkat penularan, tenaga medis menyerah, dan pelanggaran semasa Pembatasan Sosial Berskala Besar hingga Perberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat bikin geleng kepala. Teman dan kerabat, termasuk keluarga saya menjadi bagian dari persoalan di atas.
Pimpinan redaksi sampai bilang kalau kondisi Covid-19 yang fluktuatif ini menekan pendapatan industri media lokal. Kalau pendapatan digabungkan dengan kondisi pun masih sulit untuk sekedar bertahan. Siapa yang ingin pasang iklan kalau pertumbuhan ekonomi masih jalan meraba-raba. Untuk operasional sampai pemenuhan hak pekerja media sifatnya pun jadi mirip, hanya terkaan belaka. Kadang upahnya tiba sesuai kiraan, kadang meleset jauh sekali.
Bahaya, berkejaran dengan waktu, pandangan masyarakat, mencari narasumber, membaca peluang, dan hal lainnya sama sekali belum terduga. Kecuali soal upah rendah, saya tahu itu saat awal memilih bergabung menjadi insan pers. Itu juga yang membantu untuk tak bertanya soal upah dan hak sebagai pekerja media saat awal bertemu dengan para pemilik perusahaan.
Baiknya, setidaknya untuk saya sendiri, menjadi insan pers ini membuat saya terjaga dengan kebiasan mencatat dan menulis. Walau dinding kemustahilan, sebut misalnya menjadi kontributor di media nasional pun sekarang ini akhirnya sudah betul-betul buat jadi kenangan. Biar saya semata-mata sanggup berterima kasih saja dengan diri sendiri saat berpisah dengan cita-cita. Walau siang tadi perayaannya cuma dengan merokok dan melamun saja di teras rumah.
Pertama kali turun ke lapangan, Covid-19 sedang menurun, gelombang dua hampir berakhir. Ikut menjadi bagian di garis agak depan membuat saya perlu menjaga diri baik-baik. Masker berlapis, sarung tangan, di tas pun masih ada masker dan pembersih tangan. Saya betulan takut bisa menjadi pengantar virus untuk keluarga di rumah dan orang-orang terdekat. Suatu waktu pernah sampai memilih istirahat di kantor berkali-kali setelah liputan yang membuat saya berada di tengah-tengah kerumunan.
Bagian yang lebih patut disebut sebagai tantangan dalam profesi dengan kondisi seperti ini saya rasa berkenan dengan kenyataan dan nasib. Risiko yang membuat dada kian lapang berkali-kali tiba setiap hari. Walaupun betulan butuh, tapi bekerja tak hanya soal upah melulu. Keyakinan pada jurnalistik dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat setidaknya menjadi perisai dari perangai janji dan juga bualan perusahaan media.
Entah sampai kapan keyakinan itu mesti terus dijaga. Terima kasih rekan wartawan di Karawang, maupun di daerah lain yang sanggup maupun sudah tak bertahan dalam konidisi seperti ini.
Komentar