Pengantin itu kelihatan payah menghadapi malam tahun baru di teras rumah sambil memandang kuburan istrinya. Selama berjam-jam ia duduk di teras, mengganjal perut dengan anggur dan jamur tahi sapi. Payah. Bagai spons yang terus terguyur air semenjak ditinggal ketidakpastian maut. Lembek, dan terlalu banyak menyerap air. Air mandi, air mani, air mata, air minum, air hujan. Napasnya jadi terengah-engah.
Ia kebanyakan minum dan kelihatannya saja kuat menahan semuanya—kuburan istrinya—di halaman rumah. Jauh di dalam kata-katanya yang tegar ia menggelinding dan hancur berkeping-keping. Menabrak segala batasan alam sadar, gunung, hutan, lautan, dan tanah. Inti tubuhnya habis terseok-seok menghadapi rasa khawatir. Rambutnya panjang beruban dan awut-awutan. Tubuhnya tambun banyak lemak yang siap kena isap liang kubur. Pakaiannya lusuh dan pikiran melayang-layang.
Ia menengadah terheran-heran melihat hujan mulai reda. Matanya menutup mencoba mengingat apa yang dapat dipahami. Ia tersenyum dan tertawa takjub, lalu menenggak anggur dan terus menutup mata. Ia bertemu dengan daun-daun bercahaya yang menuntunnya pada Pohon Besar, pohon yang terang, seperti pusat cahaya. Dari balik batangnya berpuluh-puluh capung dan kupu-kupu muncul dan beterbangan saling menghinggapi bunga-bunga. Di ranting-rantingnya peri-peri kecil sedang duduk dan mengayunkan kaki. Negeri di dalam mata tertutup. Padang rumput yang hijaunya luas tak berujung. Bunga-bunga mekar dengan sinar matahari, matahari yang entah ada di mana. Langit hanya ruang biru luas yang terbentang tanpa awan tanpa matahari.
Tapi di dalam negeri mata tertutup si pengantin itu tidak bisa mendengar apa pun. Suara embusan angin yang meniup rumput, bunga-bunga, dan Pohon Besar yang ada di hadapannya tidak terdengar. Keberadaan tubuhnya pun tidak bisa ia rasakan. Ia bisa bergerak ke mana pun tanpa merasa ia telah berjalan. Ia terbang dengan kecepatan penglihatan. Menjauh ke atas, mendekat ke bawah, semuanya mudah. Seolah-olah memiliki banyak mata atau tak terhitung, apa pun yang ia lihat, ia bisa berada di sana. Tapi ia tidak menemukan tubuhnya. Seolah-olah ia adalah penglihatan. Wujud dan fungsi tubuh lainnya tertinggal di dunia lama.
Di bawah Pohon Besar ia pandangi peri-peri kecil dan bulir-bulir cahaya di antara rimbun daunnya yang hijau berjatuhan. Si pengantin itu tidak pernah tahu bentuk asli buah Pohon Besar. Hanya sinarnya yang ia kenal. Sinar yang menyilaukan penglihatannya seperti matahari. Saat ia menurunkan pandangannya ke rumput, bulir-bulir cahaya yang jatuh menghilang. Pecah seperti gelembung tertusuk suatu benda. Ia perhatikan perlahan-lahan, dan semua bulir-bulir itu melambat. Apa yang ia inginkan seolah-olah telah diketahui. Partikel-partikel cahaya pecah dan terpisah-pisah saat mengenai ujung rumput dan bunga-bunga. Pecahannya mirip seperti kembang api. Tapi tidak memunculkan asap dan ledakan, hanya cahaya. Ia memalingkan kembali pandangannya ke arah bulir-bulir cahaya berjatuhan. Tapi sekejap mata semua peri-peri kecil dan gumpalan cahaya itu hilang. Lenyap. Entah mengapa, ia tak mengerti.
Dari balik Pohon Besar tempat capung dan kupu-kupu bermunculan ada mulut goa yang menjatuhkan air. Seperti sumber air, di bawahnya juga ada sungai berbatu yang di tepinya tumbuh bunga rumput. Ia menyusuri sungai itu sampai jauh. Pohon Besar di belakangnya terlihat seperti pinus kecil di lereng gunung.
Pengantin itu menuju mulut goa yang menjadi arah air sungai mengalir. Di mulutnya ia temukan banyak katak bersarang di permukaan daun bunga teratai yang terbawa arus. Berputar-putar. Begitu dekat ia perhatikan, tapi katak itu tidak merasa terganggu. Bahkan tidak bergeser sedikit pun. Di dalamnya banyak tumbuh kristal biru yang besarnya seukuran orang dewasa. Batuan biru itu mengeluarkan cahaya walau pun tidak begitu terang tapi cukup untuk penunjuk arah arus sungai. Seperti lampu-lampu di terowongan. Cahaya kristal itu tersusun rapi bagai pemandu di dalam goa.
Ia menemukan lingkaran cahaya kuning. Berbinar-binar menggodanya untuk segera pergi. Tapi semakin ia dekati, lubang sinar itu semakin menjauh. Malah ia temukan kerangka tulang yang masih utuh, entah binatang apa, tampak seperti kuda. Di sekitarnya, di antara kristal biru berserakan kepingan koin emas dan berlian. Di langitnya banyak kelelawar dan sarang lebah. Cahaya dari kristal biru semakin terang. Menyilaukan pandangan. Ia tidak bisa melihat apa-apa. Seketika ia berada di hadapan Pohon Besar tanpa bunga-bunga, tanpa capung dan kupu-kupu, tanpa padang rumput, hanya ada tubuh seorang perempuan, tubuh istrinya.
Mendadak ia terkejut, terheran-heran dan menutup pandangannya. Derai gerimis yang bersentuhan dengan genting mulai terdengar. Penglihatannya kembali jelas, ia berada di teras rumah sambil memegang sebotol anggur dan semangkuk jamur tahi sapi masih ada. Air yang berhamburan ke tanah bisa ia dengar. Ia perhatikan langit, menengadah lalu menutup mata. Tapi tidak ia temukan negeri mata tertutup. Hanya hitam dan sisa warna lampu taman. Ia habiskan sisa anggur. Ia tenggak sekaligus. Ia bayangkan negeri mata tertutup kembali membawanya menemui istrinya. Tapi tidak bisa. Ia tidak terbawa ke mana-mana, masih di teras rumah.
Pengantin itu kelihatan semakin payah. Bengong. Mengingat peristiwa di negeri mata tertutup. Bertanya-tanya kepada dirinya sendiri apakah ia benar-benar merasakannya atau hanya tipu daya. Semua itu membuatnya beranjak dari teras rumah. Ia pergi ke dalam, mengambil sebotol anggur merah cap Orang Tua yang lain. Sebelum kembali, di hadapan foto istrinya, ia mengingat biola. Ia putar instrumen Czardes yang dimainkan Jennifer Jeon dari smartphone yang terhubung dengan pengeras suara tambahan. Vittorio Monti komposer asal Italia kesukaan istrinya. Ia bayangkan masih bersama istrinya. Duduk, saling memandang sambil memegang gelas berisi wine rose vintage Hatten Wines dari Bali. Lalu berdansa merayakan pergantian tahun. Berdua saja tanpa anak, tanpa cucu.
Lampu dimatikan. Kali ini terasa lebih gelap dari biasanya. Di gelapnya banyak kenangan yang menari-nari. Suara biola dari Jennifer Jeon jadi lebih jelas terdengar. Seperti jarum. Kejadian di tahun-tahun sebelumnya menusuk seluruh tubuh. Ia pasrahkan tubuhnya pada nyanyian malam tahun baru dan sebotol anggur. Ia biarkan sambil berjalan dan menutup pintu, lalu kembali ke teras.
Di benaknya, di hadapan kuburan istri dan gerimis yang mulai mereda, ia akan menggali tanah. Ia ingin membuat liang kubur di samping istrinya. Ia ingin mengubur dirinya. Dosa, doa dan kenangan, berakhir buruk. Segalanya sudah tidak lagi menyenangkan. Apa sih yang wajar dan tidak di hadapan liang kubur?
Dalam bayangnya istrinya sedang di suatu taman. Taman besar dengan Pohon Besar. Duduk bersama laki-laki atau perempuan dan bidadari atau malaikat, atau apa pun nama dan bentuknya yang menemaninya membicarakan pertemuan di tengah hutan. Sedang bulir-bulir cahaya jatuh di antara rumput yang mereka duduki. Capung dan kupu-kupu tak henti menari mendengar cerita dari dunia manusia yang saling cinta. Kisah yang tak henti membuat tanah bergoyang dan mengundang jerboa datang dan menjatuhkan bintang di langit. Pertemuan yang tidak pernah luput dikisahkan dari sekian kisah pada malam tahun baru.
Dari ruang tamu, setelah Czardas Vittorio Monti berulang-ulang diputar, makin terdengar lembut dan liris. Dinding telah meredam cerita dan emosi di setiap foto. Tinggal sayup-sayup nyanyian yang manis di telinga. Melemah. Ia tahu ia makin melemah. Instrumen itu selalu menjadi pengiring saat berdansa. Malam tahun baru. Sebelum istrinya pergi, sebelum lampu-lampu di rumah padam. Alamanda yang merambat di pagar masih kuncup. Tubuh istrinya masih di dalam pelukan. Hidungnya menghidu gaun istrinya. Tangannya saling bersentuhan dan ada ciuman-ciuman kecil. Lalu wine rose vintage masih tersisa di gelas. Rokoknya, wanginya, merah baranya, asbak dan abunya masih ada. Tapi secepat lampu padam istrinya pergi tanpa pamit, tanpa pesan.
Ia kehilangan, istrinya tidak pulang setelah itu. Apa yang tersisa di malam sebelumnya ia biarkan. Masih berada di tempat yang sama. Di puntungnya masih ada sisa bibir istrinya yang merah. Ia merasa entah, apa lagi yang harus hidup di dalam dirinya. Berminggu-minggu tidak ada kabar yang pasti. Poster pencarian telah banyak tersiar di koran dan tembok jalanan. Kerabat dan kepolisian sampai pusing dan menutup kasus perempuan yang hilang.
Kabar-kabar kematian seorang perempuan sering membuat perasaanya berdebar. Pemerkosaan, penculikan, mutilasi dan perdagangan manusia kerap kali menipu kabar kematian. Ia sudah merasa cukup dengan hal tak pasti, hidup atau mati, ia terima. Segalanya telah runtuh karena kehilangan jauh lebih pahit dari kematian. Ia tak pernah tahu apakah istrinya makan atau tidak, tidur atau terjaga, hidup atau mati. Ia tidak pernah tahu.
Sampai di puncak putus asa, saat itu ia mengubur peti kosong di pekarangan rumah. Tubuh istrinya entah di mana. Kematian kosong. Ia berharap kuburan itu bagai kepompong udara dalam kisah Fuka-Eri, Aomame dan Tengo karangan Haruki Murakami. Setiap malam ia perhatikan dari balik kaca, ia menanti kedatangan Orang Kecil. Ia ingin di dalam kubur itu kepompong udara tumbuh dan melahirkan tubuh istrinya. Bagai gila, satu minggu sekali ia bongkar kuburan peti kosong itu dan selalu mendapati kehampaan. Tidak ada yang sanggup menahan kesedihan seorang pengantin. Kehampaan berkali-kali lebih tajam dari kematian. Tanpa jasad yang pasti, apa sih yang wajar dan tidak di hadapan kuburan?
Pekarangan rumah menjadi berantakan. Alamanda tidak terurus, banyak bunga terompet kuningnya bercampur warna tanah. Tumpukan tanah bekas galian menggunung di bawah pohon mangga sampai tumbuh rumput. Nisan peti kosong istrinya pun tak lagi putih. Ada banyak jejak tangan yang menempel dan hanya terbasuh hujan. Tidak hilang dan tidak pernah dihilangkan. Ia biarkan itu menjadi tanda kesungguhan darinya untuk Orang Kecil.
Seringkali ia mengadu kepada Tuhan sampai hilang rasa percaya. Di hadapan keagungan sunyi yang rahasia ia menangis. Ia habiskan waktu untuk menerima kekalahan. Tapi harapan dalam doa itu sendiri membuatnya murung. Berlarut-larut dalam kegagalan menghilangkan rasa percaya. Segalanya terasa menjadi sebongkah batu besar yang mustahil hancur dengan air mata.
Pada suatu malam pernah ia terima kadatangan petir dalam badai. Ia hadapi musim hujan dengan menantang kehendak bahasa alam. Ia keluar dari rumah, ia hadapi gemuruh dan cahaya itu seorang diri. Seorang suami yang payah dan hancur hatinya. Ia tanyakan berkali-kali dengan kasar, kebahagian apa lagi yang Tuhan mau ambil dalam hidupnya. Seolah-olah kebahagian yang sebenarnya raib dan ia kalah kepada petir dalam badai.
Bagai percakapan penuh kekalahan hujan badai menjawab amarahnya dengan lambat dan penuh permainan cuaca. Hujan yang tak kunjung reda dan membuat seisi halaman tergenang air Tuhan dan air mata. Setidaknya itu yang ia yakini sebagai tanda atas kemenangan semesta.
Saat ini ia tengah berjalan sempoyongan menuju kubur istrinya dengan sebotol anggur. Kakinya ragu, tapi hatinya berharap istrinya berada di tanah yang sama ia injak. Gerimis dan rerumputan di antara kuburan kosong, kisah yang tak pernah ia bayangkan akan datang pada hari tua.
Ia keruk tanah di samping kubur istrinya dengan tangan kosong. Tangan yang mestinya mengenggam pinggul perempuan yang ia cintai di malam pergantian tahun. Sekarang tanah yang ia beli dengan uang tabungan menikah itu tercerai. Beberapa melekati kemeja putihnya, gerimis membuat warna tanah menyebar, melebar, menjalar ke serat-serat kain. Warna tanah semakin nampak di tubuhnya, ia siap terisap tanah. Ia sanggup mengubur dirinya, meski tak jelas apa tujuannya. Setidaknya yang ia yakini adalah gerimis di malam pergantian tahun tidak datang tiba-tiba.
Dalam kedalaman satu jengkal, sekitar satu perempat ruang telah tergenang air. Ia rendamkan tubuhnya. Genangan air naik sampai ke dada. Ia tengah pasrah memandang langit dari sepetak liang kubur. Pelan-pelan tangannya menuangkan anggur untuk kubur istrinya yang kosong. Ia berbisik pada tanah, ia tanyakan di mana istrinya, meski di dalam hatinya ia tahu itu percuma.
Di bawah rindang pohon mangga, ranting-ranting bercabang membawanya pada kisah di tengah hutan. Jalanan bercabang, kerumitan antara keinginan dan larangan, seorang lelaki yang jatuh cinta pada pandangan pertama. Saat ini dari ujung daunnya titik-titik air jatuh ke dahi pengantin baru itu sampai menyatu di mata. Kini ia benar-benar payah bagai spons. Di ruang tamu Czardas Vittorio Monti terus berulang-ulang melambatkan malam. Ia berharap seseorang datang, tatangga atau siapapun, memintanya untuk menyudahi dan menerima kepergian seorang perempuan.
“Berapa banyak malam yang kau habiskan untuk menangis?” tanya Ini, kucing kampung petarung dan pemegang jatah harian warteg tikungan.
Si pengantin tidak menjawab.
“Ini lukaku datang dari kucing juga, kau punya?”
Lelaki payah itu bangkit dan menoleh ke samping.
Masih gerimis, tepi jalan kosong dan tidak ada langkah pulang perempuan yang ia tunggu.
“Apa ini pertemuan pertama kita?”
“Bukan, aku dengannya pernah melemparimu sandal,” jawab si pengantin.
“Setidaknya kau masih bisa berpikir. Tapi, soal ayam goreng itu kau masih belum rela? Maksudku kalian, tapi kau hanya sendiri…”
“Ini beda soal.”
“Aku bahkan berhari-hari kehilangan jatah harian.”
“Aku yakin, kamu tahu betul ini bukan soal siapa yang paling tangguh merelakan sepiring sarapan pagi.”
“Kau masih belum?”
“Entahlah, kadang aku merasa ia sedang melihatku dari jendela di kamar. Kadang juga ia datang dari pintu masuk. Bahkan kadang ia menjadi dua, di sampingku dan di hadapanku.”
“Kembalikan apa yang bukan milik kita, seperti apa yang kau bilang sebelum sandal itu mendarat di pantatku.”
“Ini beda soal, aku tidak mengambil apapun,” ia berjalan dan duduk di teras rumah.
“Kau bahkan tidak tahu apa yang kau rebut.”
“Untuk anakku.”
“Tapi kematian tetap datang bukan?” Ini menjawab sambil berjalan ke teras rumah si pengantin.
“Aku tidak tahu.”
“Kau bahkan meragukan apa yang sudah terjadi. Aku tak pernah tahu dari mana aku berasal, bahkan sperma dan rahim kucing mana yang menyebabkanku. Tapi, kau tahu, kau paham betul tentang asal. Kau membawanya dari tempat di mana ia harus menetap.”
“Satu-satunya yang tidak menerima kelahiran.”
“Siapa yang benar-benar menginginkan kematian? Bahkan saat aku dilepaskan dari rahim itu, mungkin puluhan kucing tengah sekarat.”
“Kamu selamanya tidak akan memahami kami,” si pengantin itu mendekati kubur istrinya.
“Kau terlalu berlebihan.”
“Apa sih yang wajar dan tidak di hadapan kuburan kosong?”
“Kau memperumit semuanya dengan perasaan.”
“Sejak awal dan sampai saat ini aku masih mencintainya.”
“Pergilah kau bisa mencari yang lain,” kata Ini sambil mendekatinya.
“Aku hanya akan menunggunya pulang di sini. Kamu bisa merasakannya?”
“Aku hanya kucing kampung.”
“Kamu tak usah mengelak.”
“Aku hanya rasa khawatirmu kehilangan teman bicara. Kau juga yang menciptakan aku. Kau belum siap, sampai kapan pun kau tak akan siap.”
“Kamu tahu di mana istriku?”
Ini pergi meninggalkan si pengantin, ia lenyap dalam gerimis. Dari ruang tamu Czardas Vittorio Monti sudah berhenti. Si pengantin masih ingin duduk di teras, ia masih setia dengan kekalahan di hadapannya. Kini gerimis membawanya pada ruang-ruang hitam dan rumit dalam hidupnya. Ia hanyut dalam buaian tapi juga terjebak peristiwa-peristiwa yang membuntutinya.
Tanpa Ini, ia memang ingat asal istrinya bermukim. Empat puluh jiwa, jumlah yang tidak boleh kurang atau lebih. Harga yang harus dibayar untuk kekurangan dan kelebihan hanya pergi, pernikahan, kematian dan kelahiran. Kehidupan terumit yang tak pernah ia bayangkan akan ada. Mengetahui itu ia merasa berada dalam kurungan aturan yang bias, menjadi hewan buruan bagi kematian yang tinggal menunggu kelahiran dan kematian baru dan ia tumbalnya.
Hanya Ahmad dan Lala satu-satunya bentuk nyata pergulatan batin dari sekian banyak pasangan yang ia ketahui berani, berusaha menemukan titik terang sebab akibat dengan memilih menetap dan membangun rumah baru. Meski rumahnya hancur, entah telah berapa lama Ahmad dan Lala membangun rumah itu. Bangunan yang tersisa jadi bukti kenaifan penentang aturan.
Pada awalnya, sepenuhnya istirnya ragu untuk menikah dan tinggal dengannya di luar kampung. Hal itu tidak terpikirkan di dalam diri seorang pengrajin boneka dan penerus tradisi. Tapi istrinya ingin kebebasan dan kehidupannya tidak lagi ditonton para pelancong. Perasaan istrinya menjadi semakin liar ketika laki-laki yang saat ini tengah melamun meminangnya dan mengajak bermukim di kota.
Ia membawa istrinya tanpa tahu pasti “kebiasaan”nya di kampung. Ia bahkan tidak ingin bertanya, ia hanya mau menikah dan menjalani hidup sepasang pengantin. Ia terlalu buta dengan pandangan pertama di tengah hutan yang mengiringnya pada kata menikah. Dalam benaknya saat itu hutan seperti telah memberikan tanda dan restru semesta untuknya, entah bagaimana caranya membaca tanda. Daun-daun gugur, suara air di sungai, bunyi-bunyi serangga, embusan angin, semuanya terdengar sama seperti di hutan mana pun, ia hanya terlalu buta pada padangan pertama.
Kini si pengantin payah itu tengah berjalan ke arah kamarnya, sempoyongan mabuk berat. Ia berjalan meraba-raba dinding, bahkan sampai menjatuhkan benda-benda yang ada di rak dan menempel di dinding. Ia sudah kadung dengan situasi yang pelik, Czardes di pengeras suara sudah cukup membuatnya kalut. Dari matanya ruang tamu ini terasa bergelombang, seperti ada guncangan gempa datang padanya, rumah konsep minimalis itu kini sangat tidak enak dipandang, ia lihat ke belakang benda-benda berjatuhan, dan membuatnya lari ke kamar.
Di kamarnya poster-poster pencarian orang hilang yang tadinya tersusun rapi meninggi bagai gedung-gedung di Jakarta, saat ini bak lautan lepas yang sama sekali tidak terlihat menenangkan, lautan dengan ombak bermeter-meter telah menggenang benda-benda lainnya dengan kertas. Kamarnya lebih hancur daripada ruang tamu, ia tahu siapapun akan sungkan untuk menatapnya. Tapi ia hanya ingin tidur, ia memasrahkan tubuhnya kepada gempa, ia tetap ingin tidur dan siap tertimbun reruntuhan.
Di dalam tidurnya ia tengah berlari ketakutan di tengah hutan, ia berkali-kali hampir jatuh ke jurang. Di telinganya ada suara kendang seolah-olah mengiringi para pemburu yang membuntuti. Ia seperti berada di tengah medan perang liar yang arena pertempurannya adalah hutan kampung di mana ia membawa istrinya lari dan mengundang malapetaka.
Ia merasa napasnya menjadi sangat pendek, ia diam sebentar, bersandar di batang pohon yang daun-daunnya rimbun menjuntai dan tertiup angin. Bulan di atas langit sangat terang tanpa awan, tanpa bintang. Ia melihat tubuhnya, kakinya berdarah, lehernya berdarah, punggungnya berdarah, bahu dan lengannya berdarah. Ia sama sekali tidak tahu, suara kendang itu kembali terdengar. Ia menjauh, melewati akar-akar dan batang pohon tumbang dengan melompat meski berkali-kali jatuh. Detak jantungnya semakin kencang dan rasanya tengah dicengkram seseorang, rambutnya yang gondrong menjadi lepek, bahkan tercium amis darah. Lututnya semakin terasa ingin copot, seluruh tubuhnya terasa sangat menjadi beban. Tapi suara kendang itu tidak juga hilang, terus mendekat, memburu, dan siap membunuh.
Ia bahkan telah merasa berlari beratus-ratus meter tanpa henti, bahkan entah telah berapa kilometer. Tapi ia tidak pernah sampai di ke ujung hutan, dan dari segala arah kini suara orang menertawainya terdengar sangat pekik. Ia masih berusaha meski ia sempoyongan dan ambruk. Sampai ia jatuh dan tenggelam dalam kubangan. Akar-akar pohon merambati tubuhnya, mengikatnya, menyerap sumber hidup dalam tubuhnya kuat sekali. Ia semakin melemah dan tubuhnya menciut, semakin kurus, semakin kering, hingga ia melihat kulit-kulitnya hanya membungkus tulang.
Tapi ia belum mati, ia masih merasa ia hidup meski seluruh tubuhnya kini bagai selembar daun kering yang menunggu tiupan angin dan berpisah dari ranting pohon. Ia lemah, sangat lemah, jauh lebih lemah dari siapa pun yang hidup, ia bahkan tidak sanggup mengepalkan tangan, cengkraman akar-akar pohon membuatnya sangat kesakitan, tapi ia tidak bisa berteriak. Ia bahkan tidak sanggup mengucap satu kata pun, meski dengan suara yang sangat kecil sekalipun.
Kini jeratakan akar-akar pohon itu melemah, satu persatu melepaskan ikatan dari tubuhnya, ia masih sadar, sangat sadar, ia merasakan tubuhnya naik didorong air. Air mendorongnya pelan sekali, ia melihat sekelilingnya, akar-akar pohon itu masih bergerak-gerak. Sampai ia di permukaan, tubuhnya mengambang persis seperti daun kering, lalu angin berembus, kencang sekali, menerbangkan tubuhnya. Ia terbawa melayang, ia rasakan tubuhnya enteng serupa kapas, di bawahnya tepat masih hutan, hutan yang hidup, ia melihat bulan sangat terang dan kini bintang muncul meski berjatuhan, sampai ia merasa kilauan sinarnya membuatnya merasa sulit melihat. Ia menutup matanya, ia menarik napas dengan tenang, suara orang menertawakan dan kendang pemburu itu tidak terdengar, bahkan sejak dalam kubangan suara-suara itu telah hilang.
Ia sadar tubuhnya tegeletak di suatu tempat dan telah berhenti melayang, embusan angin menyimpannya penuh perasaan. Ia bangkit berdiri, meski tubuhnya mirip selembar daun, tapi angin tidak terasa sama sekali. Ia berada di puncak gunung dan tengah berhadapan dengan bulan, di belakangnya hutan dan tebing-tebing curam dipenuhi burung hitam berderet ke belakang sampai jauh, sampai batas penglihatannya tidak bisa lagi menerka mana burung mana laut.
Di hadapannya bulan perlahan semakin membesar mengikuti detak jantungnya. Sampai jaraknya dengan bulan hanya tinggal dua kali lompatan, tapi ia tetap termangu dan tidak mengerti apa-apa. Dari ceruk di wajah bulan, satu persatu gumpalan cahaya biru muncul, perlahan warna bulan memudar, dan cahaya biru itu melayang-layang lalu menggupal di hadapan si lelaki payah.
Di puncak gunung ini tidak terdengar suara sedikit pun, angin yang membawanya bahkan tidak kunjung kembali. Entah mengapa ia semakin tidak mengerti ketika gumpalan cahaya biru itu mengajaknya bicara.
Ia seperti berada dalam kisah pertemuan seorang hamba dengan Tuannya di gunung Sinai, hanya apa yang ia hadapi saat ini bukan api. Entah cahaya jenis apa yang bersarang di dalam bulan selama berabad-abad dan tiba-tiba keluar karena berusaha bicara dengan manusia daun kering dalam mimpi.
“Sudah selesai.” gumpalan biru itu bertanya.
“Apa yang selesai?”
“Hidup.”
“Aku boleh bertanya?”
“Kau tadi bertanya. Sekarang kau ikut aku.”
“Ke mana?”
“Masuk ke ceruk bulan.”
“Caranya?”
“Jarakmu padaku hanya dua kali lompatan,” katanya sambil terbang dan kembali masuk ke ceruk bulan.
“Untuk apa aku ke sana?”
Bulan kembali bercahaya.
Ia tahu jaraknya sangat dekat, tapi ia di puncak gunung! Ia mundur mengambil ancang-ancang untuk melompat, bersiap, menepuk-nepuk paha, mengepalkan tangan, berlari sekuat sisa tenanga, melompat di ujung tanah dan jatuh. Ia jatuh telentang menghadap bulan, ia lihat lingakaran itu kembali mengecil dan menjauhi tubuhnya dengan perlahan dan terus naik sampai hilang dan penglihatannya menghitam.
“Srek srek srek” tubuhnya yang seperti kapas itu menabrak daun-daun lantas “bruk” mengahantam tanah. Ia rasakan seluruh tulangnya remuk, mirip tertusuk jarum. Tapi kejutan dan tusukannya berkali-kalli lipat, meski ia rasakan seluruh tubuhnya berdarah, ia belum mati dan terbangun dari mimpi.
Ia pasrah, seluruhnya benar ia pasrahkan, ia tidak bisa melihat! hidungnya pun kerepotan menghidu darah. Samar. Semua samar-samar.
Matanya terbuka, tapi ia belum juga kembali. Ia terkurung seperti binatang aduan di tanah lapang. Hujan mengguyur, ia kedinginan sampai tulang-tulangnya beradu mengigil dengan rasa sakit.
Di tempat ini ia tidak bertemu siang dan malam, tidak ada matahari, tidak ada bulan. Langit merah, sangat merah, tapi hujan dan guntur tidak pernah berhenti. Ia tak berdaya, terus menyungkur, menghadap tanah berjam-jam dalam guyuran gerimis dan ludah dua-tiga empat orang yang bergantian lewat.
Mereka adalah orang aneh, tubuhnya hitam dan wajahnya samar. Bayangan tubuh orang-orang itu tertarik ke langit, bergoyang-goyang seperti asap. Ia bahkan ragu air hujan mengenai tubuh-tubuh mereka. Sebab tak satupun di antara mereka yang meninggalkan jejak langkah di tanah basah.
Ia bangun karena mendadak berkabut, jarak pandang memendek, sulit melihat meski tak banyak yang bisa ia lihat di kejauhan. Cuma tanah lapang dan sekali-duakali orang-orang lewat. Awan merah itu berputar-putar di sekelilingnya dan perlahan hilang lalu sekelompok orang aneh itu melemparinya batu dari berbagai arah. Mereka bicara, entah mengatakan apa ia tak mengerti, suaranya terdengar seperti suara batu terlempar ke tengah sungai.
“Plung, plung, plung, plung, plung, plung, plung,” dari depan.
“Plung, plung, plung, plung?” dari arah belakang.
“Plung, plung, plung!” dari arah samping.
“Plung, plung!” dari depan.
Ia dibawa dan dibaringkan di atas meja, tubuhnya dibasuh air, air yang paling sejuk dari semua air yang pernah ia rasakan. Orang-orang aneh itu bergantian membilas rambutnya, membilas tubuhnya dengan sabun paling wangi yang pernah ia cium sampai ke sela-sela kemaluannya. Ia direbahkan dalam kolam air besar yang di tepinya melingkar orang-orang aneh menabur bunga-bunga.
Macam-macam bunga dan wangi di air bergerak mengitari tubuhnya yang mengambang seperti daun kering di permukaan sungai. Ia perhatikan gerimis, gerimis paling indah yang pernah ia temukan, titik-titik air turun berkilau cahaya merah. Lalu jatuh menyibak permukaan air, menciptakan gelombang riak kecil. Getaran dari berbagai titik itu menyentuh tubuhnya, melenturkan tulang-tulangnya, rambutnya menjulur mengikuti arah ombak, ia rasakan ketenangan memasuki tubuhnya dari celah-celah kulit. Hingga ia tenggelam dan bertemu istrinya di sana, di dalam cahaya kebiruan.
“Selamat datang suamiku, inilah pernikahan kita. Kita tidak bisa berpindah ke mana pun, meski kamu membawaku pergi jauh. Kamu memilihku, begitu juga denganku. Meski kematian tiba, kita tidak akan berkhianat kan?”
Ia termenung, tidak tahu sebenarnya ada di mana, semua lenyap dalam cahaya.
*
Rizki Andika, lahir dan tinggal di Karawang. Belajar menulis di Rumah Seni Lunar. Menjadi mahasiswa di Universitas Singaperbangsa Karawang. Puisinya pernah terbit di Pikiran Rakyat dan Fajar Makassar. Cerpennya pernah masuk dalam nominasi Krakatau Award tahun 2018.
Komentar