KopiPagi.ID
  • Telisik
  • Tajuk Rencana
  • Tulisan Pembaca
  • Opini
  • Cerpen
  • Podcast
  • Telisik
  • Tajuk Rencana
  • Tulisan Pembaca
  • Opini
  • Cerpen
  • Podcast
Tidak ditemukan
Lihat semua hasil
KopiPagi.ID
Beranda Cerpen

Laut Hitam Cemara Jaya

Redaksi oleh Redaksi
14 Mei 2022
A A
Laut Hitam Cemara Jaya

Laut Hitam Cemara Jaya

Bagikan di FacebookBagikan di TwitterBagikan di Whatsapp

Cerita pendek oleh: Riri Alfozi

Adi, anaknya, pulang ke rumah dengan tangan penuh oli. Lelehan hitam yang sama juga menempel bandel di sandal, juga kaus bergambar Upin-Ipin. Anaknya seperti turis yang baru pulang dari neraka. Sejak sore itu, kehidupan Wawan berubah. Selamanya.

Wawan sedang bersiap melaut ketika Adi, tanpa rasa bersalah, muncul di depan pintu, melepas sandal, berlari ke kamar mandi di belakang rumah, meninggalkan jejak tapak hitam di lantai.

“Besok kamu sekolah, kan? Jangan main jauh-jauh,” teriak Wawan di ruang tamu yang menyatu dengan ruang makan, dan ruang keluarga.

Baca Juga

Hari Raya Akan Tiba, Mari Belanja Produk Kita Sendiri

Nama Julukan

Puncak Komedi, Belum Sebulan, Jembatan 10 Miliar Ambles

Nasi Uduk Monyet

“Tapi aku belum punya tas, pak,” balas si anak.

“Sabar ya, nanti bapak belikan.”

“Yang ada gambar Upin ya pak.” Adi menutup pintu kamar mandi.

“Iya. Bapak pergi dulu ya. Assalammualaikum.”

Setelah meneguk sisa kopi, Wawan meletakkan cangkirnya, berdiri, meraih jaring ikan di sudut ruangan dekat abu sisa-sisa pembakaran obat nyamuk, menyampirkannya di pundak kanan. “Bilang ke ibu, jangan lupa ngaji,” teriak Wawan dari luar rumah.

Juli yang panas. Semalam, tetangganya sesama nelayan membicarakan desas-desus soal minyak misterius berwarna hitam di bibir pantai. Awalnya Wawan belum percaya sampai tadi anaknya pulang. Seluruh keluarganya nelayan di Pantai Cemara Jaya, ujung paling Utara Karawang. Bapaknya nelayan, kakeknya, bapak dari kakeknya, sampai entah siapa. Belum pernah dia dengar cerita tentang minyak yang mengubah air laut menjadi jelaga.

Ia sudah janji membelikan anak sulungnya tas, dua minggu lalu, setelah anaknya diterima di sekolah dasar negeri, ratusan meter dari rumah. Ia paham betul, kenangan masuk SD adalah yang terbaik. Itu satu-satunya momen di mana anaknya, juga dirinya di masa kecil, juga anak-anak tidak beruntung lainnya, diembuskan harapan oleh bapak masing-masing sebelum akhirnya dipaksa jatuh.

Ia masih ingat, kenangan hari pertama masuk sekolah miliknya. Tas baru bergambar Baja Hitam RX, sepatu baru merek Warrior, buku tulis bersampul cokelat pramuka yang dilem nasi. Ia merasa bisa menaklukan apa pun dengan seragam putih merah.

Seragam yang sewarna dengan bendera terbalik. Saat terpaksa putus sekolah karena bapaknya mati dilahap ombak, ia punya gagasan kalau warna seragam yang terbalik dengan warna bendera berarti dua hal. Pertama, pemerintah ingin mengerek naik impian kita secara terbalik. Sungsang dan serba tumpang tindih. Atau, kalaupun bisa dikerek sesuai warna bendera, kita akan dikerek mendekati bumi. Menjauh dari cita-cita masa kanak.

Orang miskin, batinnya, selalu punya cara menghibur diri.

Demi sekolah anak satu-satunya, Wawan merogoh tabungannya dalam-dalam. Tidak ada uang untuk beli tas. Dua hari lalu, hasil tangkapan laut sedang bagus, setelah dipotong belanja, masih ada sisa untuk beli tas. Namun diurungkan karena Wawan harus bayar patungan solar perahu. Tanpa solar, mustahil melaut.

Biar bagaimanapun, janji harus dilunasi. Ia tinggal bekerja dua kali lebih keras. Melaut dua kali lebih lama. Ombak memang sedang besar, tapi ia yakin bisa menjaring rajungan yang harganya sampai dua kali lipat harga ikan.

Kalau laut sedang bersahabat, dalam sebulan, Wawan bisa membawa pulang dua juta rupiah, bersih setelah dipotong biaya solar dan sewa perahu. Jumlah yang sangat kecil di sebuah kabupaten dengan UMK tertinggi se-Indonesia. Hampir setengah penghasilannya dialokasikan untuk bayar kredit. Kredit motor, panci, dan baju. Beruntung, istrinya adalah ekonom terbaik melebihi ahli ekonomi di kampus-kampus. Sisa sejutaan cukup buat makan, pergi ke pasar malam, dan investasi kesehatan. Maklum, di tengah laut, orang gampang masuk angin. Sedikit uang tersisa ditabungkan.

Keluarga Wawan tidak perlu takut kekurangan makanan bergizi. Nelayan adalah satu-satunya golongan keluarga miskin yang setiap hari bisa menyantap hidangan laut.

Jalan santai kurang dari 20 menit, ia sudah sampai di pantai. Segala di depan matanya seperti asing sekarang. Seolah-olah ia tidak pernah dibesarkan di laut. Tidak ada bau laut seperti yang biasa ia hirup bahkan sejak lahir ke dunia.

Segalanya hitam, seperti pantat panci di dapur rumahnya.

“Seperti di neraka,” katanya.

“Tapi neraka warnanya merah,” sahut Anwar, kawan melautnya. Ia tiba-tiba ada di samping Wawan. Memandang laut dengan perasaan jijik.

“Neraka paling bawah warnanya hitam,” balas Wawan.

“Seperti pernah ke sana saja.” Anwar meloloskan sebatang Gudang Garam dari kolornya. Menyulutnya, lalu berbalik.

“Mau ke mana?”

“Tidur.”

“Tidak cari ikan?”

“Buat apa, laut sudah jadi neraka. Tidak ada ikan di neraka, adanya setan. Setan BUMN.”

Suatu kali, kawan baiknya ketika SMP dulu, yang pernah kuliah dan sekarang jadi sekretaris desa, menjawab ringan ketika ditanya kenapa hasil tangkapan laut semakin berkurang.

“Karena Pertamina menancapkan beton ke laut.”

“Bukan karena ikan dan cumi sudah habis?”

“Tidak habis, mereka cuma tidak punya tempat tinggal.”

“Karena beton?”

“Karena beton.”

Ia kini paham, Pertamina telah melakukan kesalahan. Entah apa.

Ia tidak bisa melaut. Tidak ada perahu yang bisa mengambang di lautan minyak. Sementara pulang adalah pengkhianatan. Pengkhianatan ke anak dan istri. Ia belok kanan, berniat ke rumah Haji Jujun.

Kalau kau bertanya siapa Haji Jujun ke para nelayan, kau selalu akan menemukan dua jawaban tergantung di tanggal berapa kau bertanya.

Di tanggal muda, ketika penjualan di pelelangan sedang bagus-bagusnya, Haji Jujun di mata nelayan adalah seorang dermawan. Orang paling baik se-Cemara Jaya. Setiap ucapannya selalu kebenaran, bahkan cahaya berpendaran pada benda-benda yang ia sentuh.

Di pertengahan bulan sampai tanggal tua, ketika orang-orang mulai berhemat dan berpikir dua kali untuk membeli hidangan laut, Haji Jujun bagaikan iblis jahat di mata nelayan. Si Jojon, begitu ia dipanggil nelayan kalau sedang kesal, menawar ikan dengan sadis. Harganya melorot jauh sampai membuat nelayan dilematis. Jual ke Haji Jujun, atau membiarkan ikan membusuk sendiri di rumah karena di tempat pelelangan ikan cuma Haji Jujun yang berkuasa. Kalau pelelangan dan kehidupan nelayan diibaratkan permainan monopoli, Haji Jujun tidak hanya membuat bangkrut pemain, ia juga membuat bangkrut bank.

Kediaman Haji Jujun sepelemparan batu dari tempat pelelangan ikan. Satu-satunya rumah tiga lantai di kampung itu. Lantai satu sebagai garasi dan tempat transaksi, lantai dua tempat tinggal Haji Jujun serta istri, lantai tiga dipakai dua anak Haji Jujun yang gemuk dan malas.

Haji Jujun terlihat sibuk ketika Wawan tiba. Tangan kanannya berkali-kali menunjuk memberi instruksi. Di tangan kirinya, terlipat buku. Pulpen terselip di telinga kiri.

“Punten pak haji,” kata Wawan sopan. Haji Jujun tampak sedang bercakap-cakap dengan bapak-bapak berseragam merah, melirik sebentar ke arah Wawan, tertawa, lalu bilang ke bapak-bapak, “Nah, kebetulan ada tambahan orang,”

Setelah dua tiga kalimat, Haji Jujun duduk di kursi dekat timbangan, memanggil Wawan dengan isyarat tangan.

“Kamu mau duit tidak?”

“Mau dong. Saya ke sini, tujuannya buat itu. Anak saya…”

“Sudah,” potong Haji Jujun. “Ini ada pekerjaan jadi pengangkut sisa-sisa tumpahan minyak Pertamina di pantai. Sehari 100 ribu, plus uang makan 20 ribu. Jadi 120 ribu. Tapi saya potong 20 ribu ya buat pulsa.”

“Punten pak haji, saya tidak bisa. Saya nelayan.”

“Gampang. Kamu kerjanya cuma angkut pasir yang sudah kena tumpahan minyak.”

“Tapi saya nelayan, pak haji. Di pantai, kerja saya mengarungi laut. Bukan mengarungi pasir.”

“Teman-teman kamu pada mau kok.”

“Saya tidak mau.”

Haji Jujun tidak biasa dengan penolakan. Kesal, lewat isyarat tangan, ia meminta Wawan pulang.

“Pertamina mau ganti rugi semua nelayan yang terdampak tumpahan minyak. Sebulan dapat 900 ribu. Tapi nama kamu tidak saya catat,” kata Haji Jujun.

“Kenapa?”

“Karena kamu tidak mau bantu Pertamina membersihkan laut.”

Wawan ingat anaknya di rumah. Besok harus berangkat sekolah, pagi-pagi. Belum punya tas, sementara ia terancam kehilangan mata pencaharian. Wawan ingat istrinya, seorang perempuan salihah yang pada hari-hari ke depan terancam kelaparan. Bayangan-bayangan itu berkelebat di kepalanya. Anaknya, istrinya, rumahnya, ibunya, bapaknya, nenek moyangnya dan laut yang diwariskan kepadanya. Sejak hari ini, Wawan dipaksa melepas profesinya sebagai nelayan.

Berbalik, Wawan menghampiri Haji Jujun.

“Iya pak. Saya mau.”

 

Redaksi

Redaksi

Artikel Terkait

Hari Raya Akan Tiba, Mari Belanja Produk Kita Sendiri
Opini

Hari Raya Akan Tiba, Mari Belanja Produk Kita Sendiri

26 April 2022
Nama Julukan
Cerpen

Nama Julukan

24 Januari 2022
Soal Jembatan Rusak 10 Miliar, Eksekutif-Legislatif Kompak: Tidak Ada Masalah
Opini

Puncak Komedi, Belum Sebulan, Jembatan 10 Miliar Ambles

23 Januari 2022

Komentar

TERPOPULER

  • Satu Meninggal, Begini Kronologi Bentrok LSM di Karawang

    Satu Meninggal, Begini Kronologi Bentrok LSM di Karawang

    0 berbagi
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Polisi Ungkap Lima Tersangka Bentrok LSM, Tentara: Jangan Coba-coba Ganggu Keamanan

    0 berbagi
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Pengusaha Nasi Padang Gor Panatayuda Dibunuh Istri Pakai Jasa Pembunuh Bayaran

    0 berbagi
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Guru SD di Karawang Kulon Keguguran Diduga Karena Kekerasan Fisik dari Orangtua Murid

    0 berbagi
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Dua Anggota Ormas Diserang Orang tak Dikenal di Alun-alun, Satu Meninggal, Satu Kritis

    0 berbagi
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Tentang Kopipagi.ID
  • Redaksi
  • Kontak Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Iklan & Kerjasama
  • Karir

© 2021 kopipagi.id. All rights reserved

Tidak ditemukan
Lihat semua hasil
  • Beranda
  • Iklan dan Kerjasama
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi Kopi Pagi
  • Telisik

© 2021 kopipagi.id. All rights reserved