Beberapa hari sebelum resminya Ronaldo kembali ke Manchester United, mantan presiden Juventus, Giovanni Cobolli Gigli, nimbrung mengompori performa Ronaldo di Juventus. Intinya dia bilang kalau skema permainan Nyonya Tua terhambat karena ada Ronaldo di ujung tombak.
Tapi bagaimana kalau ternyata anggapan itu keliru dan Allegri (pelatih Juventus) adalah biang keladinya?
Jauh sebelum Ronaldo dan Allegri mencari nafkah di Turin, Juventus secara mengejutkan mengganti logo lamanya yang oval menjadi inisial “J” yang lebih modern dan minimalis. Banyak yang mencibir karena perubahan itu radikal dan menghilangkan banyak filosofi. Tapi itu sukses—setidaknya menurut saya.
Logo baru Juventus itu simpel tapi mudah dan elok diaplikasikan ke banyak bidang; kaos, kemeja, jas, topi, kalung, mobil dan produk komersial lainnya. Penyematan “J” itu tidak terkesan dipaksakan karena tipe logonya yang minimalis. Lain halnya jika yang disematkan adalah logo usang yang kuno, yang terlalu banyak aksennya.
Logo “J” itu juga keren ketika diaplikasikan dalam beberapa produk digital dan video promosi Juventus. Lagi-lagi alasannya adalah modern dan minimalis. Bandingkan deh dengan klub yang belum mengganti logonya lebih modern. Pasti kalian tahu bedanya.
Sama seperti harapan Agnelli (presiden Juventus) waktu mempresentasikan logo baru Juventus, saya pun melihat ada optimisme bahwa Juventus bukan cuma entitas sepakbola, tapi merupakan brand global yang juga akan merengkuh sukses di bidang bisnis.
Dan itu yang terendus oleh Ronaldo ketika memutuskan hengkang dari Real Madrid pada musim 2018-2019. Juventus yang ia tuju nampak memberikan modernisasi sepakbola yang paripurna. Seketika itu Ronaldo resmi menjadi bianconeri.
Efek domino kepindahan mega-bintang ini pun luar biasa. Akun media sosial Juventus langsung melesat followers dan insight-nya. Penjualan jersey jangan ditanya. Jumlah penggemar pun melonjak. Ah luar biasa pokoknya.
Tapi lacur, tidak dengan permainan Juventus di lapangan. Strategi Juventus masih kuno, pasif dan pragmatis di bawah beberapa pelatih, khususnya di tangan Allegri. Bahkan mantan pelatih AC Milan itu secara eksplisit bilang, “sepakbola sangat sederhana. Anda harus menyerang dan bertahan. Tak masalah menjadi tim bagus dalam bertahan.”
“Saya merasa senang terhadap mereka yang tampil spektakuler. Namun kalau menginginkan tontonan yang menghibur, saya akan pergi ke sirkus. Di Juventus saya membutuhkan 3 poin.”
Nampak tak ada yang janggal dari kalimat di atas. Apalagi diakhiri kalimat 3 poin, yang artinya adalah kemenangan. Tim mana pun akan berdarah-darah mengincar itu.
Tapi jika ditelaah lagi penekanan Allegri tidak pada 3 poin, tapi pada permainan pasif nan pragmatis. Tak menghibur tak apa. Yang penting 3 poin. Allegri malah menyuruh fans untuk menonton sirkus saja daripada menonton sepakbola —menonton Juventus. Lha kan duit Juventus berasal dari fans?
Di sini paradoksnya. Ketika semua elemen Juventus sudah modern, permainan Juventus justru berlari ke arah lain, bahkan mundur ke masa lalu.
Bagaimanapun Premier League saat ini menjadi liga paling top di dunia karena bisa menghibur. Permainan saling serang memacu adrenalin penonton. Semakin mereka bahagia, semakin rela mereka menghabiskan uang untuk membeli tiket pertandingan: berapa pun.
Berapa pun juga mereka akan rela menghabiskan uang untuk jersey, merchandise, dan segala hal yang berkaitan dengan tim idolanya. Syaratnya satu: mereka harus bahagia.
Dan Allegri bersama Juventus-nya masih begitu-begitu saja. Masih pragmatis-pragmatis saja. Masih pasif-pasif saja. Allegri selalu menempatkan Juventus di posisi inferior ketika bertanding. Dan itu menjengkelkan bagi fans—setidaknya bagi saya, yang harus melihat Juventus terus digempur serangan lawan hampir 90 menit.
Juventus dan tim Serie-A lainnya harus berani merevolusi sistem permainan mereka. Toh jika memang bermain bertahan menjamin trofi, khususnya trofi Champions League dan Europe League, rasa-rasanya sudah jarang tim yang bermain pasif menjadi kampiunnya. Terakhir seingat saya hanya Internazionale Milan saja yang permainannya membosankan tapi menjadi juara Champions League. Sisanya tim yang ofensiflah yang mengangkat trofi.
Atau tengoklah Timnas Italia yang baru saja menjadi kampiun Euro. Italia yang sangat identik dengan pertahanan grendel dan cenderung pasif tiba-tiba mengubah gaya mainnya. Italia tak lagi pragmatis. Mereka bermain terbuka. Mereka mendominasi permainan, tapi juga kokoh dalam bertahan.
Jadi solid bertahan dan menjadi juara tidak ada relevansinya. Pun kejam dalam menyerang tidak berelevansi dengan juara. Kedua hal itu: solid bertahan atau kejam menyerang harus dikonjungsikan dengan kata ‘dan’. Kalau ada tim yang solid bertahan dan kejam dalam menyerang, persentase juaranya tentu meningkat.
Namun yang pasti adalah bermain lebih berani akan menghibur fans. Apalagi bermain berani dan menjadi juara akan semakin menghibur fans. Bukan hanya itu, psikologi pemain juga akan lebih bahagia di lapangan jika timnya terus menyerang.
Sialnya Ronaldo tidak merasakan kebahagiaan itu di pertandingan terakhir kontra Udinese pekan kemarin. Ini periode kedua Ronaldo dilatih Allegri. Dan mungkin Ronaldo berpikir skema yang diterapkan Allegri musim ini akan sama dengan periode pertama, yaitu pragmatis.
Dan menurut Ronaldo, itu sudah cukup. Ia begitu tergesa-gesa mengemasi letupan ambisi dan gelimangan prestasi ke dalam kopernya menuju Manchester. Ia pergi dengan meninggalkan jejak sebagai capocannoniere (top skorer) Serie A 2021 dan top skorer Euro 2020, yang diragukan oleh Giovanni Cobolli Gigli.
*
Oleh: Gus Muhammad AR —fans yang selalu beli jersey KW Juventus
Komentar