Kami punya banyak pertimbangan untuk tidak menulis berita soal mobil dinas. Dari awal, kopipagi.id diniatkan sebagai media investigasi yang mengedepankan pendalaman ketimbang produktivitas. Visi kami sebagai media investigasi mengarahkan redaksi untuk menggarap satu isu secara tuntas sebelum beralih ke isu lain. Kami percaya, kepercayaan pembaca bisa dibangun dengan cara itu. Mestinya, kami tidak marah dengan unggahan akun Facebook Momo Dhio Alief yang menyamaratakan semua wartawan yang menulis berita mobil dinas sebagai “wartawan oteng-oteng”. Kami tidak menulis berita mobil dinas. Namun, kami sedih.
Atas nama perkawanan dan solidaritas, kami sedih. Sebutan “wartawan oteng-oteng” kepada kawan seprofesi kami adalah tindakan berlebihan. “Oteng-oteng”, seperti kita semua tahu, adalah sebutan yang dilekatkan kepada orang yang tidak punya kompetensi sebagai wartawan namun mengaku wartawan (atau menjalankan kerja-kerja jurnalistik). Kawan-kawan kami bukan “oteng-oteng”. Mereka punya sertifikasi kompetensi, bekerja di kantor media, dan selalu mengedepankan kaidah jurnalistik.
Tentu kami sebagai wartawan tidak perlu membuat pembelaan. Kami terbiasa menjalankan kaidah jurnalistik, dan dalam kaidah jurnalistik, ada tahap kroscek suatu pernyataan atau data yang dilontarkan narasumber. Adalah tugas narasumber untuk membuktikan data atau pernyataannya benar. Tugas wartawan adalah mencari narasi pembanding dari pernyataan dan data satu narasumber ke narasumber lain. Atau melakukan pembuktian sendiri secara langsung.
Viriya Singgih, wartawan Multatuli Project menulis adagium cemerlang soal ini: Katanya, jika seseorang bilang hujan turun dan orang lain menyanggah, tugas wartawan bukan untuk mengutip dan mengadu omongan keduanya. Tugas wartawan adalah keluar ruangan dan mengecek sendiri kebenarannya.
Tentu adagium dari Viriya Singgih tidak berlaku untuk narasi yang dilontarkan akun Momo Dhio Alief. Subjek dari narasi akun Momo Dhio Alief adalah wartawan. Atau tepatnya wartawan “oteng-oteng” yang mengangkat berita mobil dinas. Itu berarti, bukan tugas wartawan untuk membuktikan benar tidaknya narasi akun Momo Dhio Alief. Seseorang atau siapa saja di balik akun itu yang harusnya membuktikan sendiri. Kaidah kroscek tidak berlaku bagi orang yang–misalnya–menuduh orang lain kaya raya. Orang pertama harus membuktikan sendiri pernyataannya terhadap orang kedua. Orang pertama harus punya bukti berapa jumlah kekayaan orang kedua. Kita tentu tidak bisa langsung bertanya ke orang kedua perihal pernyataan orang pertama. Bukan begitu cara kerja “cover both side”. Kita bisa ganti kata “kaya raya” dengan kata lain. Misalnya, punya kerbau lebih banyak, atau panuan seluruh badan, atau pandai berbual. Dan kita akan selalu mendapati orang kedua sebagai pihak tertuduh, marah dan tidak terima. Itu wajar. Semua orang–yang masih waras–tidak suka dituduh. Kami juga begitu.
Pelaporan akun Momo Dhio Alief oleh rekan-rekan wartawan tidak hanya upaya memisahkan minyak dan air. Namun juga upaya untuk tidak jatuh dalam prasangka dan stigma. Singkatnya, rekan-rekan wartawan ingin bilang begini: bila seseorang menuduhmu, minta dia untuk membuktikan tuduhannya, bukan membela diri apalagi menuduh balik. Dan sebagai warga negara yang baik, rekan-rekan wartawan minta negara hadir. Sebagai penengah. Agar segalanya terang dan jelas.
Terakhir. Banyak yang bilang, pers adalah pilar keempat demokrasi. Tapi tanpa kepercayaan publik, pilar demokrasi ini tidak akan berdiri tegak. Bukan pilar namanya kalau tidak berdiri tegak, bukan begitu? Maka, percayai kami untuk mengabarkan, tidak mengaburkan. Mari mengabarkan, jangan mengaburkan!
Komentar