Esai oleh: Blv
Wiji Thukul adalah salah satu aktivis yang hilang menjelang terjadinya reformasi pada Mei 1998, Wiji Thukul mengenalkan pada kita bagaimana caranya melawan penindasan, dia hadir menyuguhkan pembangkangan dalam bentuk karya sastra yang nyaris sulit kita temukan di masa sekarang ini. Mungkin kalian akan menemukan puisi-puisi lain dengan tema serupa yaitu pembangkangan tapi kalian tidak akan menemukan “nyawa” di situ.
Karya-karya Wiji Thukul merupakan salah satu yang berperan besar mengubah cara berpikir saya walaupun tidak saya eksekusi dengan baik. Puisi-puisi Wiji Thukul tidak seperti puisi-puisi biasa pada umumnya, puisinya lebih mirip seperti kutipan kabar yang berhasil membuat rezim kala itu kalang kabut dibuatnya.
Puisi-puisi Wiji Thukul memberikan deterrent effect yang sangat luar biasa, sehingga mampu menghipnotis pembacanya untuk menyelidiki kebenaran-kebenaran karya tulisnya. Dan bagi sebagian orang mungkin ada yang berpikir kenapa ada orang yang menulis seperti itu di tengah rezim kala itu yang otoriternya di luar nalar. Meski kala itu rezim orde baru sudah di ambang senja (pengujung 1996 dan awal 1997) tapi kekuatan mereka masih mencengkram kuat hampir di setiap sendi-sendi kehidupan. bagi anak muda di era Suharto yang dikebiri daya kritisnya sedemikian rupa oleh media dan institusi-institusi pendidikan yang ada sehingga mempercayai bahwa hanya ada satu versi kebenaran yang berlaku (kebenaran versi Orba), puisi Thukul adalah jelaga untuk melihat keluar.
Wiji Thukul memberikan contoh yang nyata, bagaimana dia mengubah kata-kata menjadi senjata. Dan dia pula yang mengubah perspektif saya bagaimana karya seni mampu melawan tameng dan bedil. Salah satu karyanya yang saya anggap paling brutal adalah puisi Masihkah Kau Membutuhkan Perumpamaan
Waktu aku jadi buronan politik
karena bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik
namaku diumumkan di koran-koran
rumahku digrebek –biniku diteror
dipanggil Koramil diinterogasi diintimidasi
(anakku –4 th– melihatnya!)
masihkah kau membutuhkan perumpamaan
untuk mengatakan: AKU TIDAK MERDEKA
Puisi ini adalah puisi paling puitis bagi saya, dari bait-baitnya, kita bisa membayangkan serepresif apa rezim sehingga seorang penyair kehilangan perumpamaan. Thukul justru menggambarkan dengan jelas sepuitik apa momen hidupnya di era itu. Krisis ekonomi yang hadir sebagai konsekuensi dari pembangunanisme yang korup dan membuat orang-orang pinggiran seperti dirinya semakin tertindas. Melahirkan gerakan perlawanan yang semakin hari semakin membesar. Semakin direpresi semakin militan.
tahun ini genap 24 tahun Thukul menulis puisi “Catatan”-nya itu. Sekian lama pula ia tidak pulang. Hal penting yang harus selalu dicatat ketika membaca ulang puisinya dan mengenang sosok seorang Wiji Thukul adalah bagaimana kemudian melanjutkan perjuangannya. Karena segala hal yang ia dan rekan-rekannya lawan dahulu masih eksis hari ini dalam bentuk yang tak pernah jauh berbeda. Politik upah murah, perampasan lahan, penggusuran, fasisme tak pernah lenyap di halaman depan dan belakang republik ini. Mesin-mesin rakus yang ia ceritakan di puisinya tak pernah berhenti berekspansi dan memakan korban. Tembok yang ia lukiskan di mana benih-benih bunga harus tumbuh, masih angkuh berdiri.
——————————————————————————————————
Esai dan karya-karya lain yang dikirim pembaca dan dimuat tidak mewakili sikap redaksi.
Komentar