Belum lama ini Indonesia kembali menjuarai kejuaraan di tingkat internasional, yaitu Piala Thomas. Anthony Sinisuka Ginting, Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto, dan Jonatan Christie berhasil membawa Piala Thomas kembali ke tanah air. Pasalnya, sejak 2002 lalu belum ada atlet bulu tangkis Indonesia yang bisa menjuarai kejuaraan bergengsi tersebut.
Kemenangan atas China menjadi kabar ke dunia bahwa Indonesia masih layak diperhitungkan dalam kejuaraan bulu tangkis.
Namun di balik keberhasilan Anthony Ginting dan kawan-kawan menjuarai Piala Thomas, momen haru kemenangan dicoreng dengan tidak dinaikannya bendera merah putih. Bendera Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) lah yang justru berada di podium kemenangan. Sudah jadi barang pasti bahwa kejadian itu membuat masyarakat Indonesia kecewa.
Kejadian tersebut diakibatkan karena Indonesia dilarang mengibarkan bendera Merah Putih terkait sanksi yang dijatuhkan oleh World Anti-Doping Agency (WADA) pada Lembaga Antidoping Indonesia (LADI).
Pada 15 September lalu, WADA memberi peringatan pada LADI atas ketidakpatuhannya terhadap aturan karena tidak mengirimkan sampel uji doping pada 2020-2021 seperti yang ditetapkan dalam Test Doping Plan (TDP). Sehingga pada 7 Oktober WADA memberikan dua sanksi yang di antaranya Indonesia dilarang menjadi tuan rumah kejuaran tingkat regional, continental, atau internasional dan dilarang mengibarkan bendera Merah Putih di kejuaraan internasional, kecuali Paralimpiade dan Olimpiade. Sanksi itu diberikan selama kurang lebih satu tahun atau sampai WADA mencabutnya.
Tentu saja itu berdampak langsung pada tim bulu tangkis Indonesia, sebab cita-cita mereka untuk mengibarkan bendera Merah Putih di kancah internasional harus sirna begitu saja. Kelalaian yang dilakukan oleh LADI dan Kementrian Pemuda dan Olahraga (Menpora) ini menjadi dosa besar. Sebab tidak hanya atlet bulu tangkis saja yang kecewa dengan kejadian tersebut, tapi seluruh masyarakat Indonesia juga merasakan hal yang sama, mereka kecewa dan marah.
Momen haru yang biasanya hadir setiap kali memenangkan kejuaraan terpaksa tidak dirayakan. Posisi hormat atau mengepal tangan di dada dalam sikap sempurna serasa tidak khidmat.
Bagaimana tidak, dalam kancah internasional, atlet bulu tangkis Indonesia sangat diperhitungkan. Bahkan Indonesia selalu menjadi tim kuat kandidat juara. Indonesia sendiri telah berhasil melahirkan nama-nama berbakat seperti Rudy Hartono, Taufik Hidayat, Susi Susanti, dan masih banyak lainnya.
Sudah menjadi barang pasti, tim yang memiliki segudang nama terkenal dan berbakat memiliki fans yang banyak dan loyal juga. Fans bulu tangkis di tanah air ini sangat loyal dan militan, Tidak jarang mereka datang dengan sengaja ke luar negri hanya untuk mendukung atlet kesayangannya. Disana pun mereka tidak hanya diam dan menonton tapi bersorak, membakar semangat para pemain. Hal tersebut memang biasa dilakukan oleh fans atau supporter, tapi itu bukti bahwa mereka serius mendukung Timnas Indonesia dan perbulutangkisan di negri ini.
Nasionalisme pada Olahraga
Kenapa kita harus bangga ketika Indonesia berhasil menjuarai kejuaraan tingkat dunia? Mengapa pula kita terharu tiap kali menyanyikan Indonesia Raya diperayaan kemenangan? Selain itu, kita juga merasa bangga ketika melihat bendera merah putih berkibar di atas podium. Pertanyaan itu seolah menjadi ajang kontemplasi penulis tentang nasionalisme pada olahraga.
Mungkin kalian masih ingat video Susi Susanti menangis ketika berhasil merebut emas pada Olimpiade Barcelona di tahun 1992? Atau ketika sorak-sorai masyarakat Indonesia ketika Tim Nasional (Timnas) Sepak Bola U-19 berhasil menjuarai perhelatan AFF 2013 lalu? bahkan seisi Gelora Bung Karno menangis melihat tim yang dipimpin Evan Dimas itu berhasil membawa nama Indonesia diperhitungkan di ASEAN.
Semua masyarakat Indonesia seolah terhipnotis melihat bendera Indonesia berkibar paling tinggi. Khidmat menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan lantang dan berlinang air mata. Bahkan beberapa pendukung merayakannya dengan berpelukan.
Kecintaan masyarakat pada olahraga memang sudah mendarah daging. Konon, kebiasaan itu sengaja ditanam oleh orang tua kita sejak dini. Sehingga sudah menjadi budaya bagi masyarakat datang ke stadion, sanggar atau bahkan gelanggang untuk mendukung Timnas Indonesia.
Olahraga menjadi salah satu medium yang efektif untuk memberikan doktrin ideologi. Beberapa negara bahkan menjadikan olahraga sebagai pendidikan utama untuk memupuk ideologi nasionalisme. Bahkan diantaranya dijadikan senjata perang untuk memperahankan paham ideologinya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membawa isu perdamaian salah satunya mediumnya melalui olahraga. Sehingga fungsi olahraga ini bukan hanya menjadi sarana kesehatan saja, tapi jauh dari itu.
Di Indonesia sendiri, olahraga menjadi sarana doktrin nasionalisme, baik disengaja maupun tidak. Semua rakyat akan jauh merasa nasionalisme dibadingan orang lain ketika mereka membela Indonesia. Mereka akan melakukan yang terbaik untuk negaranya demi merebut kemenangan.
Secara tiba-tiba masyarakat akan paham arti keberagaman, menghargai sesama, mendukung dengan sepenuh hati dan dengan satu tujuan, demi Indonesia menjadi juara. Tentu saja itu bukan omong kosong belaka, pasalnya dibawah bendera Merah Putih, dalam satu tribun sepak bola saja misalnya, supporter yang selama ini kita tahu berselisih, bisa akrab dan menyanyikan dukungan yang sama.
Beberapa di antaranya rela bagian tubuhnya dicat bendera Indonesia untuk memeriahkan suasana dukungan pada tim. Mereka juga akan membawa beberapa barang seperti alat drum band, terompet dan yang lainnya untuk membakar semangat pemain yang sedang berlaga.
Lantas kemudian, apakah rasa nasionalisme itu akan pudar dengan adanya kejadian tersebut? Menurut penulis tentu tidak akan, kecintaan pada Timnas bulu tangkis Indonesia akan tetap abadi, hanya saja mereka kecewa dengan kejadian tersebut, meski termaafkan namun sejarah akan mencatat kejadian tersebut. Selamat untuk Timnas bulu tangkis Indonesia, Piala Thomas kini mendarat tepat berada di rumahnya.
Komentar