Ditulis Oleh: Edi Suhendar (Pengurus Serikat Pekerja Tani Karawang/SEPETAK)
Tingginya tingkat kemiskinan bukan perkara data semata. Bukan pula disebabkan pandemi C19. Kemiskinan bukanlah sebuah istilah baru. ia telah lama muncul dalam peradaban umat manusia seiring dengan sebagian manusia itu sendiri meninggalkan corak kehidupan komunal untuk kemudian mengusung cara pandang kepemilikan pribadi. Ciri komunitas tradisonal yang setara baik dalam hak maupun kewajiban seperti melakukan seluruh pekerjaan secara bersama-sama dan membagi hasil yang didapat secara merata dipandang tak lagi relevan dalam perkembangan masyarakat kedepan. Pembelahan aktivitas komunal dalam skala kecil dan kekuatan untuk menaklukkan komunal/kelompok lain dalam perebutan wilayah perburuan dan tanah peladangan/pertanian kemudian menjadi sumber alasan terciptanya dominasi antar manusia yang dibedakan berdasarkan kelompok komunal dan gender. Pada tahap inilah mulai berlangsung ketimpangan akses terhadap sumber-sumber makanan dan tempat tinggal dalam sistem perbudakan. Para budak taklukan melakukan kerja produksi untuk diabdikan kepada tuan budak. Sehingga kondisi para budak hidup penuh derita sementara tuan budak bergelimang kekayaan yang diperoleh dari hasil kerja para budak. Pada masa inilah penderitaan para budak secara ekonomi diasosiasikan kedalam dikotomi ketimpangan antara miskin dan kaya.
Sejak itu hingga sekarang dikotomi dalam ketimpangan sosial terus berlangsung demikian abadi sesuai dengan perkembangan sistem masyarakat yang lebih kompleks.
Elaborasi Makna Kemiskinan
Diera modern ini tak sedikit orang yang mendefinisikan kemiskinan sebagai sebuah masalah sosial sekaligus menawarkan strategi penanggulangannya.
Pernyataan wapres Ma’ruf Amin mengenai kemiskinan ektream di Jawa Barat yang dijuarai Karawang, membuat Bupati Karawang demikian panik dan tentu kehilangan muka. Agar tidak terus menerus kehilangan kepercayaan publik, Cellica dengan cukup sigap bertindak. Langkah pertama yang diambil adalah “menyatakan” keraguan terhadap data yang dikeluarkan BPS yang lalu diikuti dengan rencana memanggil 25 kepala desa yang desanya masuk dalam sample kriteria miskin ekstrim.
Keraguan Cellica pada data BPS serta upaya guna memperoleh dukungan premis, ia menyodorkan argumentasi kinerja yang menyangkut distribusi bantuan sosial. Hal demikian tentu akan mengungkap setidaknya dua hal besar. Pertama, ibarat pepatah “menepuk air di dulang terpercik muka sendiri”. Dengan memanggil 25 kepala desa untuk meminta data kemiskinan ektrim, menandakan bahwa pemerintah daerah selama ini mengekspos keburukannya dalam hal data. Kedua, Distribusi program bantuan sosial (Politik Etis) seperti BLT, BPNT, PKH, UMKM, Rulahu, UMKM, Kredit Lunak, Beras dll menunjukkan ketidakefektifannya sebagai sesuatu yang bersifat konsumtif.
Langkah bupati dalam menyikapi fenomena kemiskinan ekstrim di Karawang sesaat setelah munculnya pernyataan wakil presiden kemudian mengemukakan pertanyaan cukup provokatif, apakah bupati akan bermain-main dengan statistik untuk menutupi rasa malunya? sedang argumentasi utamanya berkutat pada perkara program belas kasihan/politik etis yang terbukti gagal.
Pernyataan Cellica mengenai keraguannya terhadap data BPS tak lebih hanya upaya menyajikan kembali perdebatan dan diskursus usang mengenai kategori tingkat kemiskinan “Absolut” dan “Relative” atau kemiskinan “Material” dan “Non-Material”. Diskursus ini mengarah pada Kategorisasi garis kemiskinan yang diukur berdasarkan asset yang dimiliki seseorang dan tingkat pendapatannya; distribusi pendapatan antar lapisan social; kelemahan menajerial individu dan tidak dimilikinya jaringan sosial yang luas; keyakinan terhadap hukum ilahiyah yang menyangkut ketentuan-ketentuan nasib dan takdir. Sehingga kemiskinan itu merupakan masalah manusia yang disebabkan kemalasan serta kurangnya kemauan individu berjuang untuk menjangkau taraf hidup yang lebih baik. Diskursus serta perdebatan garis kemiskinan sebagaimana tersebut di atas sampai pada diskursus “level kemiskinan ekstrim” jelas mengandung resiko besar karena bisa meloloskan tanggung jawab Negara.
Dengan begitu, perihal program-program belas kasihan jelas diabstraksi Cellica sebagai “politik etis” dalam penanggulangan kemiskinan namun sebetulnya hanya bertujuan untuk mengecoh perhatian kita terhadap seluk beluk kemiskinanan itu sendiri. Dan jika demikian maka mengamini pernyataan Cellica atas keraguannya terhadap data BPS dalam menyikapi kemiskinan ekstrim juga mengandung bahaya.
Kapitalisme Neoliberal Sebab Musabab Kemiskinan
Dialam masyarakat kapitalisme, kemiskinan masyarakat menjadi salahsatu bentuk tajam dari buah cara kerja kapital. Dalam gambaran sederhana kapitalis akan menggerakkan modalnya untuk mencapai tujuan super profit (akumulasi modal) dengan cara mencuri nilai kelebihan produksi dari tangan kaum buruh. Sementara negara dalam hal ini pemerintah telah secara efektif menjadi jaring pengaman modal. Segala sesuatu yang sekiranya menjadi hambatan dalam proses akumulasi capital akan dijinakkan oleh negara termasuk bila terjadi perlawanan kaum buruh yang marah karena hasil kerjanya telah dicuri melalui waktu kerja, kebijakan upah murah dan sistem kerja outshourcing/magang. Namun diketahui, hubungan kerja seperti inilah yang membuat kaum buruh tidak secara mudah mengakses berbagai kebutuhan yang merupakan kebutuhan pokok, termasuk pendidikan, kesehatan, dan rumah yang layak. Atau dalam arti lain dapat dikatakan kaum buruh hidup dalam kemiskinan.
Dalam rangka pelipatgandaan modal, kapitalis tidak saja berada dalam hubungan yang antagonistik dengan kaum buruh. Ia telah memposisikan negara untuk tunduk pada programnya yang dikenal sebagai neoliberalisme. Melalui belenggu utang, neoliberalisme akan dengan mudah mendikte Negara untuk melakukan sejumlah kebijakan diantaranya: privatisasi BUMN, pencabutan subsidi, deregulasi pasar, dan pengampunan pajak.
Penetrasi capital yang begitu massif ke ruang-ruang hidup pedesaan dengan komodifikasi sumber-sumber agraria menjadi komoditi agar memiliki nilai tukar semakin mempertajam konsentrasi penguasaan sarana-sarana produksi sosial ditangan segelintir orang kaya yang kemudian menciptakan apa yang disebut proletarianisasi. Transisi agraria ke industri kapitalis ini memberi patokan untuk melacak kemiskinan desa hingga pada awal kemunculannya dimasa lampau.
Hal-hal yang melukiskan kemiskinan di atas penting dikemukakan untuk memberikan kerangka acuan berpikir kita bahwa dalam sejarah peradaban manusia kemiskinan diciptakan secara struktural bukan karena nasib apalagi mentalitas seseorang. Kemiskinan terjadi karena penguasaan sumber-sumber kekayaan dan sarana-sarana produksi berada ditangan segelintir orang sehingga sebagian besar orang kesulitan memperoleh kesempatan untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang merupakan kebutuhan pokok, termasuk pendidikan, kesehatan, dan rumah yang layak dibawah neoliberalisme. Sampai sini kita bisa simpulkan bahwa kemiskinan yang berlangsung merupakan kemiskinan struktural.
Bagaimana solusi dari kemiskinan struktural?
Solusi dari kemiskinan bukanlah program belas kasihan atau politik etis seperti yang diyakini Cellica benar. Oleh karenanya cara menanggulangi kemiskinan struktural mesti diletakkan pada dimensi yang juga bersifat struktural, yakni merombak sistem ekonomi kapitalisme yang mengusung penguasaan sarana-sarana produksi secara privat untuk tujuaan akumulasi menjadi akses bersama yang bersifat sosialistik.
*
Opini pembaca merupakan pandangan pribadi penulis, bukan sikap dan pernyataan dari redaksi.
Komentar