Kemiskinan ekstrem (mulai gunakan kata “ekstrem”, bukan “ekstrim” sesuai kaidah di KBBI) di Karawang adalah anomali. Sebuah paradoks di tengah-tengah predikat Karawang sebagai daerah dengan UMR tertinggi se-Indonesia (Rp4.798.312 per bulan per tahun 2021) dan daerah dengan kawasan industri terbanyak se-Indonesia (13 kawasan industri dengan ribuan pabrik).
Karawang punya segalanya. Sebut apa kami ada. Di Karawang ada pabrik yang mencetak uang untuk didistribusikan ke seluruh penjuru Indonesia, namanya Peruri. Untuk urusan kematian, Karawang punya kompleks Sandiego Hills. Kawasan pemakaman elit yang membanderol minimal Rp60 juta untuk satu liang lahat, dan maksimal Rp1 miliar lebih sedikit.
Karawang punya pantai dan gunung. Dilintasi sungai. Bendungan. Pembangkit listrik tenaga gas dan uap. Cadangan minyak. Bahan pertambangan. Hutan. Semuanya. Tanahnya luar biasa subur sampai pernah dijuluki lumbung padi nasional. Potongan lirik “tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman” milik Koes Plus pantas disematkan ke Karawang. Jangankan kayu dan batu, beton pun bisa tumbuh subur di Karawang. Belakangan, rentetan peristiwa kenakalan remaja saat PTM belum seumur jagung digelar, mengubah potongan lirik itu jadi: tongkat, kayu, dan batu jadi senjata.
Pemilihan frasa “kemiskinan ekstrem” yang dilakukan BPS (Badan Pusat Statistik), Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin bukan main-main. Kemiskinan ekstrem berbeda dengan frasa “di bawah garis kemiskinan”. Dalam rilis resminya, BPS membagi kemiskinan jadi dua: kemiskinan ekstrem dan kemiskinan umum.
Kemiskinan umum di Indonesia per maret 2021 mencapai 10,14 persen dari total penduduk atau 27,54 juta jiwa. Sementara kemiskinan ekstrem di Indonesia mencapai 4 persen dari total populasi atau 10,86 juta jiwa. Hitungan BPS, mereka yang masuk kategori miskin ekstrem adalah penduduk dengan penghasilan 1,9 dolar per hari atau setara dengan Rp27.116 jika menggunakan kurs hari ini, Sabtu (2/10).
Kemiskinan ekstrem tentu lebih gawat dari kemiskinan umum. PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sampai memberi perhatian lebih kepada negara-negara dengan tingkat kemiskinan ekstrem tinggi. Penggunaan frasa “kemiskinan ekstrem” yang dilakukan dua petinggi negeri ini menandakan kegawatan ini.
Secara khusus, hitungan 1,9 dolar per hari per kapita tidak berlaku di semua daerah. Karena ada banyak faktor keunikan yang membedakan satu daerah dengan daerah yang lain. BPS Karawang menetapkan angka batas aman pendapatan per kapita Rp466.152 per bulan atau 1,08 dolar per hari atau Rp15.538 sehari. Di bawah angka itu, berarti hidup di bawah kemiskinan. Itu berarti, jumlah penduduk miskin ekstrem 4,51 persen dari total penduduk Karawang atau 106.780 jiwa yang disebutkan Mendagri Tito Karnavian tidak lagi relevan bila menggunakan hitungan khusus daerah. Batas kemiskinan ekstrem di nasional adalah penghasilan 1,9 dolar per hari. Sedangkan di Karawang, batas aman pendapatan ada di angka 1,08 dolar per hari. Artinya, kalau menggunakan hitungan khusus, angka yang dikemukakan Mendagri Tito Karnavian bisa turun jauh.
Namun, angka adalah angka. BPS adalah lembaga ilmiah yang memproses data jadi informasi. Sama seperti lembaga survei politik. Keduanya sama-sama menggunakan keilmuan statistika sebagai landasan. Keduanya sama-sama ilmiah. Agak aneh kalau Bupati Karawang–dalam posisinya sebagai politisi–menolak informasi dari BPS, namun mempercayai hasil lembaga survei.
Kenapa bupati memilah data ilmiah? Kenapa masih ada penduduk miskin ekstrem di daerah kaya raya seperti Karawang? Seperti apa upaya pemerintah? Apakah masalah selesai hanya dengan bantuan sosial?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Media Kopipagi.id dalam waktu dekat akan membuat diskusi publik. Waktu, tempat, dan pengisi materi sedang kami rumuskan. Semoga diskusi publik ini bisa jadi bahan pertimbangan atau pembuka dari diskusi-diskusi besar di kemudian hari. Anda yang tertarik mengikuti diskusi ini, atau memberikan saran, silakan kirim pesan ke official account media Kopipagi.id.
Komentar