Menempatkan Nasionalisme dalam Fanatisme ke-Karawangan
Semangat kebangsaan (nation) adalah rasa yang muncul secara naluriah akibat adanya kesamaan pengalaman di masa lalu dan tujuan di masa depan. Kebangkitan nasionalisme di Indonesia dimaknai sebagai masa bangkitnya rasa dan semangat persatuan, kesatuan, dan kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Masa ini ditandai dengan dua peristiwa penting yaitu berdirinya Boedi Oetomo (20 Mei 1908) dan ikrar Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) dengan keterlibatan aktif tokoh-tokoh besar sekelas Sutomo, Soekarno, Tjipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantoro, Douwes Dekker dan lain-lain.
Inilah fanatisme yang sengaja diciptakan sebagai pemantik dan merupakan kebutuhan mendasar dalam upaya menciptakan motivasi yang seragam, yakni merasa bersaudara, senasib sepenanggungan dan menciptakan musuh bersama (penjajah asing).
Tidak hanya di Indonesia, dalam catatan sejarah, fanatisme juga dijadikan alat perjuangan di negara lain. Jerman dengan NAZI-nya pernah menguasai banyak wilayah di Eropa bermodalkan fanatisme sebagai keturunan bangsa Aria. Sebuah ras yang di-klaim paling istimewa di muka bumi. Jepang berhasil mengguncang kekuatan Barat dengan bahan dasar fanatisme keturunan dewa matahari, yang dianggap paling layak memimpin dunia. lalu, kita bisa melihat fanatisme juga dipraktekan oleh Yahudi melalui Zionisme-nya untuk merebut tanah yang dijanjikan, sehingga merasa berhak mengusir rakyat Palestina.
Esensi pemaparan diatas menegaskan bahwa Fanatisme merupakan hal fundamental untuk mencapai tujuan organisasi. Namun Fanatisme keIndonesiaan bukanlah semangat membabi buta yang mengagungkan bangsanya dan menghinakan bangsa lain. Fanatisme masa perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah nasionalisme, semangat kebangsaan untuk merebut hak yang terampas. Berbeda kasus dengan fanatisme NAZI Jerman yang chauvinisme, paham yang menganggap hanya bangsa sendiri yang paling hebat. Demikian juga fanatisme yang digelorakan oleh para pemimpin Jepang dan Zionisme Yahudi. Keduanya lebih tepat dikategorikan sebagai faham etnosentrisme, menilai pihak lain berdasar pada etnisnya (rasis).
Siapakah “Orang Karawang”?
Fanatisme makin marak dalam setiap sisi kehidupan sosial. Kultur masyarakat petani yang dibenturkan pada massifnya industrialisasi, telah membangunkan para pihak untuk menggelorakan kecintaan terhadap Karawang.
Menjelang Pemilukada, pengkotakan “pribumi Karawang” dan “pendatang” seakan menemui jalan lapang untuk dijadikan propaganda yg efektif dan menghipnotis. Saat ini, Kita cenderung memaknai labelisasi “orang Karawang” menurut selera dan kepentingan masing-masing. Jika mendefiniskan “orang Karawang” secara legal formal, maka acuan kita adalah setiap orang yang memiliki KTP Karawang. Cukup sampai disitu, tidak perlu ada perdebatan. Namun gesekan pemikiran tidak menemui ujung pangkal tatkala pertimbangan labelisasi adalah faktor historis dan sosiokultur.
Sejarah Karawang menurut berbagai referensi, tidak bisa dilepaskan dari peradaban yang dibentuk oleh Syekh Quro (1418) beserta seluruh santrinya semisal Syekh Bentong dan Rara Santang, yang merupakan keturunan Prabu Siliwangi hasil pernikahan dengan Nyi Subang Larang. Selanjutnya, pada tahun 1630-an, kita pun tidak bisa menghapus peran Sultan Agung dan pasukan Mataram-nya yang memperkenalkan sistem pertanian dan pemerintahan, hingga memunculkan Singaperbangsa, Panatayudha, Wirasaba, dan lain-lain sebagai penguasa Karawang. Wirasaba sendiri adalah nama daerah yang pernah menjadi ibukota kerajaan Majapahit. Apalagi bila ditelaah lebih jauh, maka budaya Hindu-Budha sudah lebih dulu masuk ke Karawang, dengan bukti keberadaan Candi Jiwa.
Lokasi Karawang yang strategis telah menciptakan karakter dan kultur masyarakat heterogen. Persilangan budaya pun tidak bisa terelakkan. Di dataran tinggi (Pangkalan dan Tegalwaru) mengggunakan bahasa Sunda. Daerah pesisir, semisal Cilamaya dan Pedes, banyak penduduknya yang berbahasa Jawa. Masyarakat Pakisjaya-Batujaya dominan berbahasa Betawi. Bahkan di salahsatu desa di Kecamatan Kutawaluya, warganya menggunakan bahasa dan logat Banten. Inilah keragaman Karawang yang mesti diterima oleh semua pihak. Tidak untuk menjadi sumber konflik.
Keragaman atau perbedaan itu sunnatullah. Seperti yang ditegaskan dalam QS Al-Hujarat ayat 13 bahwa sesungguhnya manusia diciptakan berbangsa – bangsa / bersuku-suku supaya saling mengenal. Untuk itulah segenap pemimpin, baik formal atau informal, berkewajiban memberikan pemahaman yang utuh tentang Karawang. Nawaetu untuk membangun Karawang bisa diekspresikan dalam kebangkitan fanatisme ke-Karawangan, tanpa embel-embel dikotomi “pribumi versus pendatang”. Sisi lain, mesti diimbangi dengan penyadaran dan kecerdasan rakyat untuk menyeleksi pemimpin berlandaskan pada ide gagasan, kemampuan, integritas dan rekam jejaknya.
Fenomena sosial keKarawangan seyogyanya dijaga pada aspek rukh, tujuan dan praktek. Jika dikelola dengan baik, fanatisme kedaerahan dapat membangkitkan kembali semangat gotong royong, partisipasi publik, seem of belonging (rasa memiliki), dan kepedulian yang tinggi terhadap kemajuan daerahnya. Tapi jika gerakan kedaerahan tersebut hanya bermain di wilayah simbol ceremonial serta melupakan keragaman, maka ekspresinya mengarah kepada primordialisme sempit, anti multikultur, benci terhadap pendatang, dan rasis. Penyimpangan ghiroh inilah yang harus kita cermati dan dihindari oleh semua pihak.
Karawang adalah milik seluruh warga Karawang, dengan hak dan kewajban yang sama. Pengukuhannya tidak berdasarkan garis keturunan, lama tinggal, suku, bahasa, agama atau aspek subjektif lainnya. Hanya insting merusak, keserakahan, anti keadilan/kemakmuran, serta sikap individualisme yang pantas menghapus klaim kita sebagai “orang Karawang”. Fanatisme berlebihan bukanlah jawaban atas mimpi dan kegelisahan rakyat Karawang.
*Departemen Kominfo DPP GMPI
Komentar