Pada musim hujan Desember lalu, pacar Mitha Ramadhingtyas, Jaya Laksana mengatakan satu kebohongan tentang warung nasi uduk di jalur bibir terowongan Gonggo, dan saat mereka menikung ke arah kanan di ujung jalan Kertabumi, pacarnya menunjuk satu persatu orang-orang yang tengah duduk makan dan mengatakan tiga dari lima orang pembeli itu adalah monyet.
Manakala saat Mitha melintasi bibir terowongan Gonggo dengan Agus dan berkata “Para pembeli itu adalah monyet,” tentu saja kawannya tak percaya, kemudian ia jelaskan seperti apa yang sempat mantan kekasihnya katakan.
“Ada yang mencuri dengar cerita perjalanan Napoleon di Mesir menembak hidung Sphinx dengan meriam sebagai bentuk penaklukan dan penjajahan. Belum lagi mitos anggaran kebudayaan di Karawang,” tapi Agus masih tak percaya. Kemudian Mitha menjelaskan tanda persekutuan pedagang dengan jin, meski ia harus sedikit berteriak.
“Penjual akan repot kalau membawa bak air yang beratnya barangkali bisa sampai dua puluh liter dan bolak-balik cuci piring. Kalau dilihat sepintas, got sekitar taman Bencong juga buruk. Banyak sampah,” kata Agus.
Setelah diam sebentar ia meneruskan omongannya, “Nah siapapun yang meninggal ditabrak kereta di atas Terowongan Gonggo juga bukan karena menjadi tumbal nasi uduk.”
Mitha terlihat menyeringai dari spion motor, Agus tidak bermaksud membuatnya jengkel. “Sekarang kita kembali ke sana, kalau kamu bisa buktikan tanda penglaris lain, aku percaya.” Mitha tak menjawab apa-apa.
Vario itu berjalan menyusuri jalan Jatirasa, di tepi kiri pepohonan kamboja yang sudah Mitha duga dari awal hanya sebagai penutup buku anggaran tahunan pemerintah, kini terlihat lebih baik. Beberap mati tak berpangkal, sebagian masih dapat dikenali sebagai batang kamboja, ia berharap seseorang tak sengaja menendangnya hingga tercabut dari tanah dan patroli sampah pada suatu subuh memungut bagian memalukan itu.
“Mau memutar di bundaran atau naik ke jembatan?” tanya Agus. Mitha masih diam, ia fokus melihat satu bengkel di seberang jalan dengan plang kayu bertuliskan “Horas Horas Club”.
Ia tak ingat kapan terakhir melewati jalan ini dengan mantan kekasihnya, tiga kata itu membuatnya merasa tak lagi peduli soal apakah nasi uduk itu memiliki penglaris atau tidak untuk sementara waktu. Ia merasa sesuatu bergerak cepat dan singkat.
Vario menikung di bunderan, ia ingin memastikan tulisan itu tertulis benar dalam plang kayu dan bukan hanya tebakan matanya yang luput menggunakan kacamata.
“Horas Horas Club, tak salah lagi,” kata Mitha.
“Ada yang salah?” tanya Agus sembari menarik tuas rem motor dan menghentikan laju Vario secara mendadak karena motor di depannya berhenti tiba-tiba saat memasuki terowongan Gonggo.
Mitha mengaduh kemudian bicara, “Bukan sesuatu yang penting,” katanya dan sedikit kaget lalu menaikkan kaca helm. “Kalau diperhatikan, tanah pekuburan di kiri ini tidak lagi seram. Sayang banget beringin tua itu mati. Aku sampai tak melihat daun-daunnya gugur dari waktu ke waktu. Katanya tanah pekuburan ini sempat amblas saat penambahan lorong terowongan, pernah dengar?”
Agus diam. “Saat itu tengah ada penanaman paku bumi untuk pijakan beton terowongan baru. Aku tak tahu betul mana yang membuat amblas tanah itu sebenarnya. Meski sebenarnya aku tak mungkin juga berakhir di tanah pekuburan ini. Ngomong-ngomong kenapa ya kita tak kunjung bergerak?”
“Aku kurang yakin ini cuma karena macet, mungkin ada kebakaran tambal ban seperti tahun lalu. Pas begini mungkin ada orang yang ingin pulang atau bertemu pacar lebih awal tapi malah nabrak rak bensin eceran.”
Agus melepas tuas rem dan mulai memasuki area gelap terowongan Gongo. “Tanah pekuburan itu mungkin baiknya ditimbun setumpukan tanah baru. Biar kuburannya betulan terkubur. Orang-orang mulai susah mencari tanah kubur. Tapi sepertinya itu akan menimbulkan masalah baru ya?” tanya Agus.
“Syukurlah ini cuma macet,” kata Agus lagi. Mitha mengangguk dan berkata, “Ya, nah nanti lebih baik kita parkir di Bebek Pak Ndut. Terus pesan satu atau dua porsi makanan, terus kita pergi memastikan penglaris, terus balik lagi sebelum pesanan dingin. Kalau tak bisa kubuktikan, semua pesananmu akan kubayar.”
“Ayo langsung belok, Gus, mumpung bareng orang lain,” kata Mitha lagi, Agus mengangguk dan beberapa kali memaksakan Varionya menerobos dari arah berlawanan. Ia sendiri sebenarnya takut kena amuk, tapi dalam jumlah ini ia merasa aman.
Vario berhenti di halaman parkir Bebek Pak Ndut, kemudian Agus bertanya Mitha ingin pesan apa dan ia menjawab, “Terserah”. Setelah itu Agus bicara dengan pramusaji kalau mereka harus pergi sebentar.
Mitha sengaja menginjak-injak taman kecil yang tak terurus di depan terowongan Gonggo saat menyeberang dari tepi Bebek Pak Ndut, menyeberang lagi dan naik ke pedestrian yang nyaris tak memiliki batas antara selokan dan tempat untuk berjalan.
Sesekali Mitha menengok ke arah Taman Bencong dan menyayangkan tempat itu tak bisa kembali menjadi prostitusi transseksual, setelah yang tradisional dan merakyat di seberang rumah sakit Dewi Sri alias Seer ditutup paksa kelompok berjubah.
Agus berhenti, Mitha juga mendadak berhenti. Pejual kacamata sekaligus jam tangan palsu dan masker secara eceran di pedestrian menengok ke arah mereka dan berkata, “Silakan dipilih dulu, harga murah.”
Mitha mendekat ke tubuh Agus dan berbisik, “Sekarang percaya kalau pembeli nasi uduk itu monyet?” Pedangang itu melirik Mitha. Agus mengangguk dan balik badan sambil mengusap kepala, “Apa boleh buat. Dia sedang apa ya di sana?”
“Mungkin ia terjebak macet dan mau memastikan omongannya sendiri,” kata Mitha sambil menyusul Agus dan berkata lagi, “Kamu memesankan apa tadi untukku?”
“Bebek goreng sambal ijo.”
“Sepertinya enak.”
Biografi Penulis
Muhammad Ibnu Jaffar, lahir di Bandung sekarang tinggal di Karawang. Bekerja sebagai buruh. Puisi dan cerpennya termuat di beberapa media online dan cetak.
Komentar