Adi terheran setelah menyaksikan Mira, anaknya yang masih duduk di bangku kelas II SD, pulang dari sekolah dengan wajah bersungut-sungut. “Kamu kenapa, Nak?”
Mira tak menggubris. Ia lantas menjatuhkan tubuhnya di atas sofa.
“Ada apa, Nak? Kok kamu murung begitu, sih?” telisik Adi.
“Pak Marno, Ayah…,” jawab pendek Mira, tanpa menjelaskan.
Adi lantas duduk di samping sang anak, kemudian mengelus-elus kepalanya. “Marno kenapa, Nak?”
Mira lantas melenguh. “Ia mengolok-olokku lagi, Ayah. Ia bilang, ‘Hai, Mira, anaknya Adi, si pencuri kotak amal’,” terangnya, kesal.
Seketika, Adi mengembuskan napas yang panjang dengan rasa kasihan. “Sabarlah, Nak. Kalau Marno atau siapa pun mengejekmu seperti itu, abaikan saja. Lama-lama, mereka juga akan bosan mempermainkanmu.”
Akhirnya, Mira kembali menanyakan perihal yang sudah pernah ia tanyakan, “Tetapi Ayah memang bukan seorang pencuri kotak amal, kan?”
Adi pun tertawa mendengkus. “Tentu saja bukan, Nak. Itu hanya cerita karangan orang-orang untuk mengolok-olokmu,” balasnya, dengan ekspresi tenang. “Makanya, kau tak usah menghiraukan kata-kata mereka,”
Mira lantas mengangguk-angguk pelan. Kegusarannya tampak mereda. “Baiklah, Ayah,” katanya, kemudian bangkit dan beranjak ke dalam kamarnya.
Akhirnya, Adi kembali geram terhadap Marno, sang calon kepala desa itu. Ia jengkel mengetahui bahwa lelaki paruh baya itu masih saja mengoarkan perihal masa lalunya di telinga sang anak. Ia tentu tidak ingin kalau sang anak mengetahui dan meyakini kebenaran bahwa ia memang pernah mencoba mencuri isi kotak amal dahulu.
Tetapi Adi menyadari bahwa membungkam mulut Marno seorang, jelas tak memiliki dampak yang signifikan terhadap perlindungan nama baiknya. Pasalnya, selain Marno, beberapa warga yang lain juga masih getol mengolok-olok namanya.
Tetapi memang, di antara warga, Marno yang paling senang dan gemar mempermainkan namanya. Bahkan pernah satu kali, tujuh bulan yang lalu, ketika beberapa warga berleha-leha dan berbincang-bincang di pos ronda, Marno berseloroh dengan santai, “Sebenarnya, Adi ini sangat layak untuk dicalonkan sebagai kepala desa. Tetapi sayang, ia mantan maling kotak amal.”
Sontak saja, para warga yang masih menyimpan hormat padanya, turut melepaskan tawa, sedangkan ia menyengir saja menahan luka di dalam hatinya.
Tetapi kekesalan pada Marno dan pengolok lainnya, tak membuat Adi lepas kendali. Ia memahami bahwa reaksi emosional hanya akan membuat orang-orang makin tertarik untuk mengolok-oloknya. Karena itulah, ia selalu meredam kemarahannya setiap kali mendengar orang-orang menjulukinya sebagai pencuri kotak amal, sembari berusaha tampil tenang.
Tentu saja Adi sangat berharap orang-orang berhenti merendahkan namanya. Ia sungguh ingin dilabeli dengan julukan terhormat. Tetapi tak ada yang bisa ia lakukan selain bersabar, hingga orang-orang berhenti dengan sendirinya. Namun itu entah kapan, sebab julukannya sebagai pencuri kotak amal, terus saja diwariskan oleh para pengolok kepada anak-anak mereka.
Adi sungguh tak menyangka bahwa kelabilannya di masa lampau, akan menyeretnya ke dalam kehinaan yang berkepanjangan. Kala itu, 21 tahun yang lalu, atas nafsu kekanak-kanakannya, ia tergoda untuk menggarong isi kotak amal masjid demi membeli mobil-mobilan berpengendali, seperti yang marak dimainkan teman-temannya. Tetapi sial, saat sedang beraksi, seseorang memergokinya, hingga semua warga tahu. Akhirnya, sampai kini, orang-orang pun terus menandai namanya sebagai pencuri kotak amal.
Untuk membersihkan namanya, Adi telah melakukan berbagai upaya. Selain tidak pernah lagi mencoba-coba mengambil barang-barang yang bukan haknya, ia juga senantiasa berderma, termasuk berdonasi untuk masjid. Dengan begitu, ia berharap orang-orang akan mengenalinya sebagai penyumbang isi kotak amal ketimbang pencuri isi kotak amal.
Selain itu, di tengah-tengah masyarakat, ia juga berusaha tampil dengan lakon positif demi membentuk julukan yang baru untuk namanya. Ia menjadi petani durian yang sukses, menjadi kepala dusun yang amanah, juga menjadi bilal masjid yang taat. Ia berharap orang-orang akan menandainya sebagai si petani durian, si kepala dusun, atau si bilal masjid.
Tetapi sayang, upaya-upaya itu gagal. Sampai kini, orang-orang tetap menandainya sebagai “Adi si pencuri kotak amal”.
Tetapi keadaan memang menyulitkan Adi untuk membersihkan namanya. Pasalnya, di desa tempat tinggalnya, nama “Adi” adalah nama yang pasaran. Terhitung ada 12 orang dari segala umur yang memiliki nama panggilan “Adi”. Nama-nama panggilan itu berasal dari nama-nama asli semisal Supriadi, Apriadi. Sumadi, Jumadi, Kariadi, dan lain-lain. Akibatnya, setiap ada perkara yang melibatkan orang yang memiliki nama panggilan “Adi”, maka warga akan bertanya, “Adi yang mana?”. Dan sialnya, orang-orang selalu saja menerangkan dirinya sebagai “Adi si pencuri kotak amal”.
Tak pelak, atas kenyataan itu, Adi jadi kelimpungan untuk membersihkan nama baiknya di lingkungan desa. Karena itu, ia pernah merantau ke pulau seberang untuk berkerja di perkebunan kelapa sawit. Ia lantas pulang setelah lewat empat tahun, sembari berharap orang-orang akan melupakan sejarahnya dan mengganti julukannya. Tetapi upaya itu, juga tidak berhasil.
Atas kenyataan tersebut, kini, Adi benar-benar menyerah untuk melakukan apa-apa demi menghapus julukan buruknya. Ia bersabar saja menerima olok-olokan.
Di tengah kepasrahannya, Adi pun terus membiasakan diri untuk melakukan hal-hal yang baik demi melawan stigma buruk atas namanya. Seperti juga kali ini, belasan menit menjelang salat asar, ia kembali beranjak ke masjid untuk melaksanakan tugasnya sebagai seorang bilal. Seperti biasa, ia melangkah ke masjid yang tidak jauh dari rumahnya, sembari menebar senyuman dan sapaan ramah kepada para warga yang ia papasi, yang mungkin saja masih memendam olok-olokan atas namanya.
Sejenak kemudian, perasaannya pun tersentak setelah ia menyaksikan sejumlah warga yang riuh di dalam masjid. Dengan rasa penarasan, ia segera memeriksa apa yang terjadi. Hingga akhirnya, ia mengetahui bahwa anak Marno yang sekelas dengan anaknya, telah kedapatan menggarong isi kotak amal masjid dengan alasan untuk membeli kuota data internet demi bermain gim daring.
Seketika saja, ia tak bisa membendung perasaan senangnya. Ia merasa bahwa Marno telah menuai tulah yang setimpal atas kejailannya selama ini. Ia pun yakin bahwa Marno, bahkan juga semua warga sedesanya, akan berhenti menjulukinya sebagai pencuri kotak amal.
Tak lama kemudian, beberapa warga menggiring anak itu ke rumah ayahnya, kepada Marno, untuk mendapatkan pengajaran atau hukuman.
Akhirnya, Adi merasa waktu bergulir cepat atas kesenangannya yang makin menjadi-jadi. Setelah selesai menunaikan salat, ia lantas pulang. Sesaat berselang, ia pun memasuki rumahnya dengan sikap yang menyuratkan kegembiraan.
Seketika saja, anaknya, Mira, bertanya penasaran, “Bapak kok senyum-senyum sendiri? Ada apa?”
“Marno tidak akan lagi mengolok-olokmu, Nak!” timpal Adi, dengan ekspresi riang.
Mira pun bertanya antusias, “Kenapa begitu, Ayah?”
“Itu karena anaknya baru saja kedapatan mencuri isi kotak amal,” terang Adi, lantas tertawa pendek. “Nah, lain kali, kalau ia mengolok-olokmu, balas saja dengan bilang, ‘Oh, Bapak Marno, ayah seorang pencuri kotak amal’.”
Mira sontak tertawa senang. “Memangnya, siapa anak Pak Marno yang mencuri kotak amal itu, Ayah?”
Adi pun tersenyum semringah. “Adi, Supriadi, teman sekelasmu itu.”
Lagi-lagi, Mira tertawa.***
Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring. Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping).
Komentar