Pelan-pelan aku menciptakan beberapa, mungkin puluhan puisi entah untuk apa dan kepada siapa tulisan itu bermuara. Kadang aku membuatnya karena pesanan teman (menurut mereka aku tidak buruk membuat sebuah puisi) atau hasrat cinta kepada makhuk ciptaan tuhan, bahkan karena iseng berkepanjangan. Beberapa puisi aku abadikan dalam buku meski kawanku yang membaca hanya “iya-iya” saja. Aku tak pernah berniat untuk mengirim tulisan ke media cetak karena takut ada salah kata.
Mungkin tersesat atau apa namanya, aku masuk jurusan ilmu politik sewaktu kuliah, padahal sebelumnya aku tidak pernah menykai hal-hal berbau politis. Aku menyetujui juntrungan orang tua untuk mendaftar di salah satu perguruan tinggi negeri di tempat kelahiranku dengan catatan harus masuk ilmu politik. Sebenarnya aku berkeinginan masuk jurusan kesenian atau sastra. Namun apa daya,
“Toh, yang bayar orang tuaku, bukan orang tuamu” sambil makan kacang rebus aku bicara dengan nada kesal di hadapan Rusdi.
Tentu ada alasan mengapa pada usia remaja aku tidak begitu suka dengan politik, yaitu: terdapat ‘kebohongan’ di dalamnya. Menguntungkan atau merugikan, jelas aku lebih suka kejujuran. Tentu itu adalah pikiran kekanak-kanakan. Tapi hanya ada hal itu di pikiranku.
Awal sekali ketika aku tidak menyukai politik (setidaknya itu yang benar-benar aku ingat) adalah ketika Usep meremas dadaku.
Sewaktu aku melahap bangku SMA, menjadi bagian dari anggota OSIS merupakan kegiatan hal patriotik. Membuat agenda acara, program-program yang direncanakan untuk akreditasi sekolah, dan lain sebagainya. Tentu saja di dalamnya terdapat orang-orang masygul. Usep ada di antaranya.
Aku merokok sendirian di gudang sekolah saat jam pelajaran masih berjalan. Aku berhati-hati dengan memperhatikan celah-celah jendela yang sebagian besar sudah ditutupi benda-benda tidak berguna, seperti tongkat pramuka, boneka manusia yang organ-organnya jelas terlihat dan matras.
Entah sekuat apa indra penciumannya, Usep menghampiriku bersama dua orang kawannya.
“Lilis Rofiqoh, kelas sepuluh IPA dua.” kata Usep.
“Iya, Kak.” Aku menjawab. Perasaanku kikuk.
“Intinya saja, ya.” katanya sambil tangannya menampan ke arahku.
Aku memberikan sebungkus rokok yang entah tersisa berapa. Aku terlalu kikuk untuk mengingatnya. Aku mengangguk.
“Kapan ada waktu untuk bertemu di ruang BP?” tanya Usep.
“Jangan, dong, kak. Aku janji, deh, gak akan merokok di sekolah lagi.” kataku.
Dua kawannya mungkin tidak tega atau tidak nyaman dengan tempat berdebu, akhirnya mereka berdua bilang pada Usep untuk menunggunya di luar.
“Begini, deh…” ia meremas dadaku dua kali sebelum aku menepisnya. Dua orang kawannya dengan jelas melihat kejadian itu. Mereka tertawa.
“Dasar bangsat! Tolol!” aku mengucapkan segala serapah untuk Usep. Aku tak berani memberinya satu bogem pun.
“Impas, ya. Aku gak akan lapor guru BP.” katanya sambil berlalu ke luar gudang.
Sejak hari itu aku benci dengan nama Usep dan tahi kucing macam Osis dan segala macam yang berbau politis.
Begitu banyak kejadian yang membuat masyarakat geram dengan politikus. Mereka menakar persoalan yang sepele menjadi rumit. Apa sulitnya mencopot jabatan orang tua tidak berguna yang berpuluh tahun duduk nyaman di kursi kekuasaan? Tidak bisa dipungkiri, akibatnya harga sembako naik, mengakibatkan ibu di rumah merongseng.
“Bapak cari duit gak sih? Ini harga beras makin naik saja, loh. Bapak mau ngasih makan anak kita kecoa dan tikus? Atau mau burung bapak aku jual saja?” Sekilas percakapan keluargaku yang kata tetangga harmonis yang hampir setiap hari pecah. Juga tetanggaku, tetangganya tetanggaku atau mungkin ibu-ibu sekampung membuat kepalaku ruwet. Rasanya kepala ini ingin disimpan saja andai dapat dilepas kemudian diganti halnya celana dalam ketika sudah bau pesing. Sayangnya ini batok kepala.
Bertahun setelah itu, aku mengenal Rusdi di kampus. Sambil menyeruput kopi yang hampir dingin diselingi menyesap rokok yang tinggal sebagian, sambil bermalas-malasan aku dan Rusdi membaca buku miliknya. Ia memilih membaca Multatuli dan biografi Tan Malaka secara sembunyi-sembunyi, sedangkan aku membaca novel Harimau dan Cather In The Rye.
Setelah menimbang-nimbang dibantu keheningan yang maha tertib, juga berkat Rusdi dan salah satu buku yang tertulis kalimat ‘manusia adalah makhluk politis’ sampailah aku menemukan tangga menuju kehidupan baru dan menyimpulkan bahwa aku harus berpikir politis. Halnya Usep yang berhasil menyimpan tangan kanannya di payudaraku. Aku baru paham, selama aku menyumpah-serapah, ternyata aku berpikir politis sejak berada di dalam kandungan ibu atau bahkan saat jadi sperma.
“Bagaimana kalau setelah lulus kamu masuk partai saja? Kebetulan bapakku sekarang menjabat sebagai pimpinan cabang. Nah, pendidikanmu, kan ilmu politik pasti cocok.” Ajak Tarno setelah aku lulus pada tahun 2000, ia kawanku ketika duduk di bangku Sekolah Dasar. Ia membujuk agar aku masuk ke ranah organisasi bersama bapaknya.
“Buat apa? Sumpah, ku gak minat.” aku menjawab.
“Di sana hidupmu akan terjamin, Koh. Suer, deh.” dalihnya.
“Gak, untuk saat ini. Tapi gak tau, ya, kalau bapakmu udah lengser.” kataku sedikit bergurau dengan serius.
“Sialan!”
Aku lulus tanpa kendala bahkan cukup puas dengan nilaiku. Mungkin karena rajin mengisi absen dan tak pernah menyudutkan dosen ketika mengajar di kelas. Pernah teman sekelasku, Buyung, menentang dosen karena terlalu mambesar-besarkan pemerintah. Buyung menganggap apa yang dikatakan dosen tidak sesuai dengan keadaan sesungguhnya.
“Sudah hampir tiga dekade sejak dirinya menjadi presiden negara ini jadi banyak yang tidak beres. Dasar negara dibikin buat kepentingan pribadi, apa Bapak menganggap itu hal yang beres? Utang negara udah lebih dari se-kontainer.” tegas Buyung sambil menunjuk ke arah jendela. Perdebatan antara siswa melawan dosen Pro Orba (entah aku lupa mata kuliah apa) tak terhindarkan, seketika kelas menjadi riuh dan dosen meresa dipermalukan.
Tentu dosen tidak tinggal diam. Saat di akhir prtemuan semester, dosen itu memberikan nilai kelewat buruk terhadap Buyung. Padahal ia siswa yang cukup rajin mengisi absen bahkan tugas-tugas ia kumpulkan tepat waktu. Dengan otomatis Buyung menjadi sulit untuk menyelesaikan pendidikannya karena harus mengulang mata kuliah dosen tersebut. Tapi aku dan Rusdi memberinya selamat karena telah memberikan dosen itu perhitungan. Sebab mau bagaimanapun “dosen yang menganggap dirinya sebagai dewa di hadapan mahasiswanya, harus diubah menjadi manusia” kata Rusdi.
Rusdi gencar melakukan diskusi kecil dengan mahasiswa yang lain terkait arah pemerintahan setelah reformasi. Bentukan sifatnya yang temperamental dan berani membuat Rusdi dianggap mahasiswa berbahaya. Sampai beberapa kali Rusdi diinterogasi oleh pihak keamanan kampus tapi ia tangkas dan berhasil mengelak. Rusdi terus diawasi di luar maupun dalam kampus. Bahkan pernah suatu hari Rusdi diteror lewat sepucuk surat kaleng misterius.
“Bocah ingusan seperti kamu gak akan bisa hidup berlama-lama.” begitulah kurang lebih isi suratnya.
Rusdi hanya memberi tahu kepadaku dan melarang memberitahukan ke kawan yang lain sebab ia tidak mau mereka merasa takut dan was-was.
“Kenapa kamu tidak masuk birokrasi saja? Kamu, kan punya pengetahuan dasar soal pemerintahan.” saran Rusdi.
Ya, aku mengerti soal itu, tapi tidak semudah apa yang dikatakan Rusdi. Ketika kamu berada dalam tubuh gurita bernama pemerinthan dimana pun tempatnya, kita yang lemah dan berbeda pendapat akan lebih rentan terkena tindakan diskriminatif. Kita akan dikucilkan, tidak didianggap bahkan dihilangkan secara tragis sebab saat ini negara dibangun oleh watak pemimpin tiranis.
“Termasuk Rusdi. Rusdi hilang!” kata Oman yang pada waktu itu ikut berdemonstrasi di depan gedung Walikota bersama Rusdi dan mahasiswa jurusan Teknik Mesin yang lain.
Mereka menuntut untuk mengusut kawan-kawan yang hilang pasca demonstrasi mei tahun 1999 dan mencopot para pejabat Orba yang masih bertengger di kursi kekuasaan. Mereka dihadang aparat keamanan negara. Bentrokan pecah, mahasiswa melawan aparat bertameng hijau loreng dilengkapi pentungan simbol kekuatan. Mahasiswa dipukul mundur.
Teror terus meluas. Rusdi hilang beberapa hari kemudian sejak kejadian itu. Rusdi dicari oleh teman sepergaulannya ke rumah, ibunya tidak tau dan menangis. Bertanya kepada pemilik kosan tempat Rusdi tinggal tidak ada.
Suasana mencekam.
“Di mana Rusdi?” kataku. Saat gencar-gencarnya teror, kawan-kawan yang aku tanyai lebih memilih bersembunyi dari pada menjawab. Setelah kejadian itu aku tak pernah melihatnya kembali, sampai di hari kelulusanku.
Setelah lama menganggur, akhirnya aku bekerja di media percetakan yang memproduksi koran harian. Meski direkturnya bilang bahwa perusahaan itu bergerak secara independent, dalam kenyataannya masih ada bargening dengan pemerintah. Namun sialnya, sejak beberapa tahun ke belakang, pemerintah makin mengawasi perusahaan media percetakan di kota karena takut dijadikan sebagai ladang propaganda dari gerakan akar rumput. Jika ada perusahaan media cetak terlihat menerbitkan tulisan yang tidak memihak kepada pemerintah, maka perusahaan tersebut tak lama kemudian akan mengalami kebangkrutan. Orang-orang yang terlibat akan dibui karena dianggap mengancam persatuan negara.
Sebenarnya aku punya jabatan yang cukup menguntungkan, tapi aku tak bisa menggunakannya secara penuh, karena perusahaan lebih turut dan patuh terhadap majikan dalam hal ini adalah pemerintah. Aku akan diberhentikan secara tidak hormat lalu dianggap berbahaya jika berani memberitakan sesuatu di luar jalur perusahaan. Tidak dituliskan orang-orang hilang, orang-orang meninggal karena terlalu agresifnya pemerintah terhadap penduduk sipil. Adapun dimasukan ke koran-koran adalah berita yang telah disetujui oleh pengawas media.
“Tapi kamu harus menulis dengan jujur. Tulisanmu harus sampai ke penjuru kota. Kalau bisa ke penjuru negeri bahkan dunia. Jangan takut, akupun akan menulis tentangmu.” Aku ingat Rusdi bicara kepadaku. Matanya menatap. Seperti ada harapan di matanya.
Sejak Rusdi hilang, aku kerap berpikir bahwa dia adalah orang bebal. Kenapa Rusdi rela jadi buron sedang aku ditelantarkan begitu saja? Kenapa Rusdi begitu kalem ketika aku ikut-ikutan jadi bebal? Kenapa ia tak melakukannya sendiri setelah lulus kuliah.
Jika aku mengingat Rusdi berarti ada yang harus aku lakukan untuk Rusdi. Walau sampai hari ini tak satu pun kawan yang menemukan tubuhnya. Barangkali ia sedang bersembunyi di bawah gerbong kereta atau gelantungan di balik tubuh macan, aku tidak tahu. Jelas karena keyakinanku terhadap Rusdi, aku ingin jadi pemberani.
Dengan sembunyi-sembunyi aku cari kabar orang-orang hilang, termasuk Rusdi. Aku mendapatkan banyak kabar dari teman yang masih aktif di dalam gerakan akar rumput. Mau bagaimanapun aku masih dikatakan aman meski beberapa kali bertemu dengan mereka berkat aku menyebut nama Rusdi.
Beberapa hari kemudian aku mulai menulis esai tentang kekerasan aparat negara terhadap korban-korban dan aku simpan di kolom paling depan. Rentetan kasus-kasus yang tak pernah diusut, pengaruh sikap otoriter presiden terhadap sosial-budaya, orang-orang yang terlibat dugaan kasus korupsi, semua tersaji.
Kabar tersebar, berita sampai ke gang-gang dalam kota.
Esok harinya aku dicari oleh beberapa orang yang mengaku sebagai pengawas media cetak. Aku diberhentikan dengan tuduhan mengancam persatua negara. Salah seorang itu mengatakan sesuatu dengan pelan yang aku paham betul apa: dasar komunis.
“Alhamdulillah.” jawabku.
Semoga aku sudah memenuhi apa yang diharapkan Rusdi. Entah hidup atau mati ia sekarang aku akan merasa senang sebab sudah seyogianya ia berada di tempat menyenangkan bersama orang-rang yang ia upayakan untuk dapat hidup dengan layak sebagaimana apa yang dicita-citakan negeri ini.
Definisi hidup sudah banyak tersedia di warung-warung cepat saji dengan bumbu dan rasa bermacam: manis, pahit, asam, asin, getir atau apa pun sesuka hati. Orang-orang dapat membelinya dengan harga terjangkau bahkan anak seumur jagung sudah dapat memasak sendiri definisi hidupnya di dapur, kamar, atau di tempat paling sembunyi tanpa bahan-bahan pilihan orang tua, sebab sebagian orang tua sibuk dengan definisi hidupnya sendiri yang nantinya tidak menghasilkan apa pun.
Senyum cengengesan mewarnai kusut wajahku saat berjalan di trotoar, hendak pulang menuju rumah.
“Aku sudah menulis dengan jujur, Rus. Sekarang tinggal mencarimu.” Kataku kepada kendaraan yang melintas.
Sejak saat itu aku hilang, hingga kini tak pernah ditemukan. Begitulah aku yang diceritakan Rusdi kepada anak-anak dan istrinya yang sekarang hidup bahagia di Jakarta.
(ian)
Komentar