Lelaki tua itu mengayunkan kapak dua kali lebih cepat dari biasanya. Ia memang sedang tergesa. Barusan, ustaz di kampungnya mengumumkan potensi air kiriman dari Bogor lewat pengeras suara masjid. Hujan sedang lebat-lebatnya di Bogor. Siswa paling bodoh di sekolah dasar pun tahu sifat dasar air yang mengalir dari tempat tinggi ke tempat lebih rendah. Diperkirakan malam, atau Subuh nanti, kampungnya—sebuah dusun di pinggiran pusat kota Karawang—menerima tamu tahunan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tamu yang datang dari tempat tinggi akan masuk begitu saja tanpa permisi menerobos ruang tamu, lurus terus mengarah ke dapur, merendam lutut orang dewasa juga lutut ranjang.
Sepanjang ingatannya, banjir rutin menggenangi kampungnya sejak 15 tahun lalu. Keluarganya masih lengkap ketika itu, seperti potret keluarga bahagia yang dianjurkan pemerintah Soeharto. Satu suami, satu istri, dua anak. Ia sering menyaksikan pendapat orang pintar atau pemerintah atau semacamnya di televisi. Mereka bilang banjir di kampungnya disebabkan karena penurunan tanah. Ia bayangkan Sandekala—raksasa berukuran besar dari bangsa jin—menginjak-injak kampungnya.
Seorang sarjana, atau mahasiswa, ia tidak peduli, suatu kali mendatangi kampungnya. Mereka tinggal selama satu bulan di rumah Pak Haji. Dari mulut mereka akhirnya lelaki itu mengerti maksud dari “penurunan tanah”. Singkatnya begini: sebuah perusahaan mengeruk minyak dari perut bumi tepat di bawah kampungnya demi kepentingan negara. Gara-gara itu, permukaan tanah di kampungnya turun mirip permukaan mangkuk. Hujan sebentar saja bisa banjir. Hujan di tempat tinggi sebentar saja bisa banjir.
Sewaktu ia remaja, memang pernah ada tombak-tombak raksasa beroperasi siang-malam di kampungnya. Ia tidak nyaman dengan tombak-tombak itu. Sebab selain ujungnya mengeluarkan api, tombak itu juga mengeluarkan suara mirip lenguhan sapi yang tengah sekarat.
Orang-orang pintar, atau sarjana, atau mahasiswa, atau pemerintah, atau siapa saja ia tidak peduli, terus saja bicara, diselingi janji-janji. 15 tahun lewat, mereka masih sama berisiknya. Beberapa tahun terakhir, mereka membawa mi instan dan kebutuhan pokok di sela-sela janji dan sorot kamera. Warga lebih percaya pada tai daripada omongan mereka.
Setelah pengumuman banjir itu, ia bawa cucunya, bergegas memacu Honda Supra X-nya ke gunung Sanggabuana. Di kaki gunung dekat pemukiman warga, lelaki tua itu membangun gubuk sederhana dari kayu. Hutan berjarak sepelemparan batu dari gubuknya.
Cucunya itu berusia 10 tahun. Lahir saat banjir bandang disertai angin dan petir. Sulit mencari pertolongan di tengah bencana karena warga lebih sibuk menyelamatkan ijazah dan surat berharga milik sendiri ketimbang mengulurkan tangan untuk membantu persalinan seorang ibu. Ibu cucunya, yang juga anak lelaki tua itu meninggal tidak lama setelah melahirkan. Akhirnya lelaki itu beserta menantu, dan istrinya, sibuk mengurusi administrasi kematian anaknya, sambil menyelamatkan harta benda berharga. Anak lelaki itu belum sempat dinamai. Lelaki tua itu asal saja menulis nama Caah di kolom formulir saat diminta petugas menulis nama cucunya saat mengurus kematian anaknya. Dalam bahasa Sunda, Caah berarti banjir.
Caah yang duduk di bangku sekolah dasar bingung melihat tingkah laku abahnya. Setiap pengumuman potensi banjir lewat pengeras suara di masjid, abahnya akan membawa dirinya ke Loji untuk menebang pohon. Setiap kali bocah itu bertanya mengapa menebang pohon, abahnya akan menjawab: untuk mencegah banjir.
Caah tidak setuju. Setahunya, banjir disebabkan oleh pohon yang ditebang dan perilaku buang sampah sembarangan.
“Lain. Banjir itu karena ulah Sandekala dan tombak api berlogo kuda laut,” bantah abahnya.
Di dalam kepalanya, Caah membayangkan rupa kuda laut sebagai kuda yang bersirip dan lihai berenang seperti bebek.
“Aku akan membangun kapal besar dari kayu-kayu ini. Perahu ini akan singgah di bandar-bandar besar. Akan kupakai perahu-perahu ini untuk menghalau banjir besar. Setelah tugasnya selesai, ia akan terdampar di bukit,” kata kakeknya. Caah memahami sebagian omongan si kakek.
Caah tiba-tiba teringat nenek dan bapaknya yang tiga tahun lalu meninggal bersamaan. Neneknya tenggelam setelah berusaha menyelamatkan Danu—kambing satu-satunya keluarga mereka—dari banjir. Danu selamat karena bisa berenang, neneknya tidak. Bapaknya menyusul 15 menit kemudian ke alam baka setelah tersambar petir, atau tersengat arus listrik, ketika berusaha mengevakuasi antena televisi di atap rumah. Sejak peristiwa itu, abahnya terobsesi dengan perahu.
Caah membuka tas sekolahnya. Warnanya biru seperti langit bergambar Bima Satria Garuda. Ia tarik buku tulis bersampul cokelat dari situ. Ada nama Caah tertulis besar dengan huruf kapital di bagian muka buku. Dengan jari-jari kecilnya, ia buka buku itu tepat di bagian tengah.
“Abah, aku bantu bikin perahu.”
Dengan cekatan, kertas yang sebelumnya ia tarik dari bagian tengah buku dilipat sedemikian rupa. Aku akan layarkan perahu ini di tepi kali yang alirnya sangat tenang, dan perahu ini akan bergoyang menuju lautan.
Lelaki tua itu melirik cucunya. Perahu kertas cucunya hampir selesai. Ia ingat sebuah buku tulis yang kertasnya hampir habis saat ia masih seumuran Caah. Ia habiskan hampir seluruh kertas di bukunya untuk membuat perahu kertas. Buku tulis itu bersampul cokelat, ada namanya tertulis besar dengan huruf kapital di bagian muka buku: Nuh.
*
Fzy
Komentar