Matahari belum terbit saat Ujang tiba di depan gerbang sebuah perumahan bersubsidi. Motor belum terlalu banyak lalu lalang. Hawa dingin mengambang di udara.
Perumahan itu dibangun dua tahun lalu, tidak lama setelah pemilu. Kebanyakan dihuni oleh pasangan muda yang sehari-hari bekerja di pabrik. Sejak Kabupaten Karawang perlahan-lahan berubah jadi kota industri, perumahan serupa banyak dibangun mengikuti kebutuhan warga pendatang. Tiap tahun ada setidaknya 10 ribu warga luar Karawang yang merantau ke Karawang. Sebagian besar bekerja di kawasan industri, sebagian mengisi sektor usaha kecil menengah, sisanya menganggur karena habis kontrak atau tidak cukup bisa bersaing di bursa kerja.
Ujang pernah membaca berita di koran Radar Karawang yang ditempel di majalah dinding Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, bahwa ada setidaknya 200 ribu warga luar Karawang yang berbaur, menikah, dan tinggal di Karawang. Sewaktu Ujang membaca berita itu, ia sedang menerima panggilan wawancara dari perusahaan retail. Ujang belum sempat membaca habis berita ketika namanya dipanggil melalui pengeras suara. Ia rapikan kemeja putih hampir lusuh yang menguning di beberapa bagian, mengucap basmallah, lalu masuk ke dalam ruangan.
15 menit kemudian Ujang keluar ruangan dengan perasaan hampa. Pengalamannya berkali-kali menerima wawancara kerja mengasah instingnya. Ia tahu HRD tidak berminat kepadanya hanya dari cara mereka melempar pertanyaan. Selalu begitu tiap kali wawancara kerja, dan HRD membaca latar belakangnya, mereka langsung kehilangan antusiasme lalu mengajukan pertanyaan seperti robot. Sangat terprogram.
Perumahan Villa Karawangi di Desa Cibalongsari, Kecamatan Klari, Kabupaten Karawang dari awal diniatkan dibangun sebagai perumahan terbesar di Karawang. Terdiri dari empat kompleks perumahan, yang dibangun empat tahap. Pengembang perumahan yang bekerja sama dengan bank milik pemerintah membeli puluhan hektare area sawah dan rawa-rawa. Namun sampai dua tahun, pembangunan baru selesai di tahap pertama. Sawah dan semak yang terlanjur diratakan dibiarkan begitu saja tidak terurus. Tepat di depan tempat Ujang berdiri saat ini, semak-semak setinggi dada orang dewasa tumbuh rapat menyemuti jalan.
Ujang tidak habis pikir. Ada sekelompok orang terlalu kaya membeli tanah puluhan hektare hanya untuk dibiarkan ditumbuhi semak, sementara ia dan keluarganya tinggal berdesak-desakan di sepetak lahan yang di atasnya berdiri bangunan hampir roboh.
Tukang nasi uduk langganannya tiba lima menit kemudian. Namanya Kang Jaka. Entah siapa nama aslinya Ujang tidak peduli. Yang jelas, cuma Kang Jaka yang menjual nasi uduk super enak dengan porsi besar tapi harga terjangkau. Hanya dengan uang delapan ribu rupiah, Ujang bisa bawa pulang kira-kira sepiring penuh nasi uduk dengan lauk tempe orek basah, bihun, dua buah bala-bala, suwiran telur goreng, sejumput bawang goreng, dan segenggam kerupuk. Kang Jaka juga mau dihutangi.
Nasi uduk Kang Jaka selalu habis sebelum jam tujuh pagi. Makanya, Ujang harus berburu waktu. Setiap subuh ia cegat Kang Jaka di gerbang perumahan. Gagal membawa pulang nasi uduk Kang Jaka berarti gagal membawa sarapan sekaligus makan siang untuk dia dan adik-adiknya.
“Kang biasa.” Ujang mengulurkan rantang stainless steel. Dari pengalamannya, porsi lebih banyak bisa ia dapatkan kalau membungkus nasi uduk pakai rantang ketimbang di kertas nasi. “Disatukan sama yang kemarin-kemarin ya kang. Jadi 40 ribu. Nanti dibayar kalau bapak ada uang.”
Ujang mencomot gelas kecil di ujung gerobak, menarik teko berisi teh tawar hangat, menuang isinya ke gelas, meminumnya dalam dua kali tegukan, haus dari perjalanan kira-kira tiga kilometer dari rumah ke gerbang langsung sirna. “Teh tawar hangat selalu bikin lebih cepat kenyang.”
Di rumah, Ujang akan membagi satu porsi nasi uduk ke dalam empat porsi kecil sama besar. Kadang ia tidak tega dan membiarkan jatah miliknya disantap tiga adiknya. Ia yakin bisa bertahan dengan dua tiga gelas teh tawar hangat sampai tiba waktu makan malam.
“Ibu sudah sembuh, Jang?” Kang Jaka membuka termos nasi, asap tipis beraroma santan menjangkau penciuman.
“Sudah bisa makan, kang. Tapi makanannya yang tidak ada,” jawab Ujang tanpa ekspresi.
“Mau dibawakan nasi uduk?”
“Tidak perlu, kang. Takut bapak tidak bisa bayar hutangnya.”
“Yang ini gratis.”
“Akang mau nyalon anggota DPRD? Kok baik banget.”
Ujang dan Kang Jaka biasa saling melempar canda. Barangkali itu cara mereka menertawai kemiskinan. Atau mungkin itu cara mereka bertahan di tengah hidup yang makin sulit.
Sepeda motor, kali ini jumlahnya lebih banyak, lalu lalang dari dan ke perumahan. Sebagian dinaiki warga berseragam kerja. Sebagian berseragam sekolah. Sisanya ibu-ibu berdaster yang belanja ke pasar atau sekadar membeli sarapan. Pagi di Perumahan Karawangi selalu semarak dan bergairah.
Tanpa Ujang tahu, Kang Jaka menyelipkan dua lembar uang sepuluh ribuan ke dalam kantong plastik yang dibawa Ujang. Tiap melihat Ujang, Kang Jaka selalu teringat masa lalunya.
Tidak bisa bersaing cari kerja hanya dengan ijazah SMP, Kang Jaka serabutan cari penghasilan. Ia sangat ingin menggarap sawah seperti ayah, kakek, dan nenek moyangnya biasa lakukan. Tapi sawah di kawasan industri adalah aset yang kapan saja bisa ditukar dengan uang. Sawah milik keluarganya tidak tersisa barang sepetak pun. Kakak dari ayahnya yang isi kepalanya melulu harta warisan, menjual seluruh sawah ke seorang pengusaha keturunan. Di atas sawah itu kelak dibangun pusat perbelanjaan Galuh Mas.
Segala hal ia lakoni. Mulai dari jadi tukang panggul beras di pasar, tukang sapu masjid, sampai penggali kubur. Uang memang ia dapatkan, tapi selalu tidak cukup. Tidak pernah sebanding dengan semua nyeri dan pegal di tubuh.
Kemiskinan bahkan sempat membawanya jadi Anjelo alias antar jemput lonte. Sebutan orang Karawang untuk profesi tukang ojek yang biasa mengantar perempuan tuna susila ke tempat pelacuran. Profesi itu segera ia tinggalkan setelah pelanggannya terlibat cekcok dengan seorang pemuda pemabuk yang berakhir saling bacok. Pelanggannya meninggal dengan luka memanjang di perut. Pemuda pemabuk harus diamputasi tangannya gara-gara sebuah obeng karatan menancap di telapak tangan kanannya.
Sampai kemudian ia memperistri perempuan yang saat ini telah melahirkan dua anaknya. Hidupnya berubah. Sedikit. Istrinya pandai mengelola uang. Dari uang tabungan hasil kerja serabutan, Kang Jaka membangun reputasinya sebagai tukang nasi uduk nomor satu se-Kecamatan Klari.
Harusnya semua sudah cukup. Namun, kakak dari ayahnya–Jaka tidak pernah sudi menyebutnya sebagai pamannya–diam-diam menggadaikan sertifikat rumah milik kedua orangtua Jaka. Hasil menabung dari keuntungan menjual nasi uduk selama 10 tahun habis untuk menebus sertifikat di pegadaian. Apa-apa yang diusahakan Jaka bersama istrinya selama 10 tahun harus mengulang dari nol.
Kakak dari ayahnya Jaka memiliki dua anak. Anak pertama meninggal setelah menenggak belasan obat penenang di sebuah tempat karaoke murah di dekat pantai Samudera Baru Karawang. Teman-temannya yang mabuk dan asyik berkaraoke baru menyadari anak itu sudah meninggal berjam-jam kemudian. Anak itu meninggal dengan posisi sujud di atas sofa murahan dengan bokong menghadap ke arah pintu. Busa mengalir dari bibirnya. Di tengah bunyi musik dangdut di dalam ruangan, dan suara azan Subuh, mayat anak itu digotong teman-temannya yang masih mabuk.
Anak kedua hampir meninggal di parkiran sebuah lokalisasi di pinggir stasiun Kereta Api Karawang. Perempuan tuna susila mengamuk karena anak itu enggan membayar setelah memuaskan hasratnya. “Kalau tidak punya uang dilarang sange ya njing, coli aja coli,” kata perempuan itu sambil menunjuk-nunjuk. Jaka ada di sana mengenakan jaket dan kacamata hitam. Ia dengan tenang menghampiri motor Supra X warna perak miliknya, membuka jok, dan mengambil obeng. Jaka mengulurkan obeng kembang itu ke perempuan tuna susila.
Si anak nomor dua yang tangan kanannya diamputasi menikahi seorang perempuan penyakitan. Keduanya memiliki anak. Salah satunya bernama Ujang.
*
Cerita pendek ini ditulis oleh Amaranda Zakaria, tinggal di Klari. Sehari-hari ia bekerja sebagai tukang poles besi.
Komentar